Hukum Persaingan Usaha

SEKILAS
HUKUM MATERIL DAN FORMIL
PERSAINGAN USAHA



oleh

HMBC Rikrik Rizkiyana, S.H. & Vovo Iswanto, S.H., LL.M.
dari
Rizkiyana & Iswanto
Antitrust & Corporate Lawyers

dan
Chairman of
Indonesian Community for Competition & Consumer
dan
Inisiator dan Senior Researcher
Lembaga Kajian Persaingan Usaha - FHUI

Jakarta Mei 2010




I.                   Pengantar
(Posisi Hukum Persaingan Usaha dalam Sistem Hukum Nasional)

Pesatnya dinamika bidang ekonomi nasional, tidak dapat dipungkiri telah pula memacu pula perkembangan bidang hukum yang merupakan “rule of the game” dari kegiatan ekonomi. Berbagai perangkat hukum di bidang ekonomi sebelum ini yang berbasis kepada KUH Perdata dan KUH Dagang serta KUH Pidana yang nota bene merupakan peninggalan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang berkiblat kepada mahzab Eropa Kontinental tidak lagi mampu mengakomodasi permasalahan dari dinamika kegiatan ekonomi yang ada. Oleh karenanya kecenderungan penyusunan berbagai produk peraturan perundang-undangan yang khusus (lex specialist) di bidang ekonomi tidak lagi dapat terbendung.

Kekhasan yang sangat menonjol dari produk perundang-undangan yang khusus ini adalah kondisi karakteristik substansialnya dimana telah terlingkupinya seluruh aspek dari bidang-bidang hukum yang selama ini dikenal (hukum perdata dan hukum publik) di dalam sistem hukum nasional. Sehingga sebagian pakar hukum Indonesia menyatakan bahwa pembidangan hukum yang selama ini dianut (hukum perdata dan hukum publik) dalam sistem hukum nasional sudah tidak relevan lagi untuk dipertahankan. Pada akhirnya, masih sebagian pakar hukum tadi, kini pembidangan hukum seharusnya didasarkan pembidangan dari kegiatan yang terkait, misalnya untuk kegiatan di bidang ekonomi maka bidang hukumnya adalah hukum ekonomi. Untuk itu layak dicermati pendapat para pakar hukum di bawah ini.

o   Sunaryati Hartono berpendapat bahwa: [1]

"Kalau metode penelitian dan penyajian mata kuliah hukum dagang (lama) bersifat perdata murni, maka hukum ekonomi Indone­sia telah memerlukan metode penelitian dan penyajian yang inter‑disipliner dan transnasional. Interdisipliner, karena:
-          Hukum Ekonomi Indonesia tidak hanya bersifat hukum perdata, tetapi juga berkaitan erat dengan hukum Administrasi Negara, Hukum Antar Wewenang, Hukum Pidana bahkan juga tidak mengabaikan Hukum Publik Internasional dan Hukum Perdata Internasional.
-          Hukum Internasional Ekonomi Indonesia memerlukan landasan pemikiran bidang‑bidang non-hukum seperti filsafat, ekonomi, sosiologi, administrasi pembangunan, ilmu wilayah, ilmu lingkun­gan dan bahkan juga futurologi."

o   Sri Redjeki Hartono[2] berpendapat bahwa luasnya bidang kajian hukum ekonomi membuatnya mampu mengakomodasikan dua aspek hukum sekaligus sebagai suatu kajian yang komprehensif. Dua aspek hukum itu meliputi aspek hukum publik maupun aspek hukum perdata. Oleh karenanya hukum ekonomi dapat mengandung berbagai asas hukum yang bersumber dari kedua aspek hukum tersebut yang dapat digambarkan sebagai berikut:


Asas-asas Hukum




Asas-asas
Hukum Perdata

Asas-asas
Hukum Publik



Asas-asas Hukum Ekonomi





o   Agus Brotosusilo[3] berpendapat bahwa pembidangan hukum dalam bidang publik dan perdata seperti sekarang tidak dapat dipertahankan lagi, karena dalam kenya­taannya kini hampir tidak ada bidang kehidupan yang terlepas dari campur tangan negara. Dengan demikian untuk keperluan pengkajian ilmiah, bidang hukum dapat dibedakan sebagai berikut:
(1)   Hukum Tata Negara.
(2)   Hukum Administrasi Negara.
(3)   Hukum Pribadi.
(4)   Hukum Harta Kekayaan:
(a)    Hukum Benda:
i.      Hukum Benda Tetap.
ii.    Hukum Benda Lepas.
(b)   Hukum Perikatan:
i.      Hukum Perjanjian.
ii.    Hukum Penyelewengan Perdata.
iii.  Hukum Perikatan lainnya.
(c)    Hukum Hak Imateriel.
(5)   Hukum Keluarga.
(6)   Hukum Waris.
(7)   Hukum Pidana.

Masing masing bidang hukum terdiri dari hukum ajektif (formil) dan hukum substantif (materiel). Pembedaan tersebut di atas bukan merupakan pengkotak‑kotakkan, karena seringkali suatu sikap‑tindak melibatkan lebih dari satu bidang hukum. Hal ini terjadi karena semakin banyak aspek‑aspek kehidupan bersama yang diatur oleh hukum. Perkem­bangan tersebut menimbulkan berbagai spesialisasi baru di bidang hukum. Misalnya saja, dikenal adanya: hukum lingkungan, hukum kependudukan, hukum kedokteran, hukum kesehatan dan sebagainya. Ciri‑ciri bentuk hukum baru seperti ini tampak sangat nyata di bidang hukum ekonomi, yaitu seringkali bidang hukum baru ini tidak secara ketat mengikuti pembidangan. Suatu bidang spesiali­sasi hukum kadang‑kadang mencakup beberapa bidang tata hukum sekaligus.

Sesuai dengan pandangan-pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa memang hukum ekonomi memiliki dimensi baik hukum publik dan hukum perdata (privat). Hukum Persaingan Usaha merupakan bagian dari Hukum Ekonomi. Oleh karena hukum persaingan usaha memiliki kondisi dimensial yang sama. Dengan kata lain bahwa Hukum Persaingan Usaha juga memiliki dimensi bidang hukum tata negara (lembaga dan instansi resmi, pusat dan daerah seperti eksistensi Departemen dan Dinas Perdagangan, Departemen dan Dinas Perindustrian dan eksistensi Komisi Pengawas Persaingan Usaha); hukum administrasi negara (pelaksanaan peranan kelembagaan tersebut); bidang hukum perdata (seperti eksistensi perjanjian dan kontrak di dalam kasus-kasus persaingan usaha); dan ada bidang pidananya (sanksi pidana dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1999). Atas dasar itu maka Hukum Persaingan Usaha dalam konteks pembidangan hukum konvensional dapat dilihat sebagaimanan skema lingkaran di bawah ini.


circle scheme of competition


Penjelasan: [4]

·         Hukum Publik:
-          Hukum Negara:
-          Hukum Tata Negara (HTN) yang melingkupi perihal Instansi/Pejabat dan Peranannya, misalnya tentang keberadaan institusi pengawas pelaksanaan undang-undang persaingan usaha di dalam struktur ketatanegaraan.
-          Hukum Administrasi Negara (HAN) yang melingkupi perihal proses pelaksanaan peranan dari institusi-institusi terkait.
-          Hukum Pidana yang melingkupi perihal keberadaan sanksi pidana yang masuk dalam kategori yang lebih khusus lagi yaitu pidana ekonomi.
·         Hukum Perdata (termasuk di dalamnya Hukum Dagang) yang melingkupi perihal keberadaan perjanjian (kontrak, bila tertulis) dan para pelaku usaha (baik yang berbentuk badan hukum maupun persekutuan perdata lainnya).

Dengan demikian dapat disimpulkan sekali lagi bahwa dalam kerangka sistem hukum nasional, Hukum Persaingan Usaha sebagai bagian dari hukum ekonomi tidak hanya berdimensi hukum perdata saja tapi lebih luas lagi yaitu melingkupi hukum publik (hukum negara dan pidana).[5]


II.                Jenis-jenis prilaku anti-persaingan.


1.      Perjanjian atau Pengaturan Usaha Restriktif.[6]
Ditinjau dari maksud perikatan atau perjanjian antar perusahaan dengan karakteristik produk yang dihasilkan atau jenis produk perusahaan-perusahaan bersangkutan, perjanjian antara perusahaan pada dasarnya terdiri dari dua macam yaitu perjanjian yang bersifat vertikal dan horisontal.
Perjanjian vertikal yaitu perjanjian antar perusahaan pada berbagai tahap dalam proses maanufakturing atau proses dis­tribusi, misalnya perjanjian perjanjian antar para produsen dan wholesaler, atau antara produsen, wholesaler dan pengec­er. Sedangkan perjanjian horisontal adalah perjanjian yang diadakan antara perusahaan- perusahaan yang bergerak secara umum di bidang kegiatan yang sama , yaitu antara para produsen atau para wholesaler, atau antar para pengecer yang bergerak dalam jenis produk yang sama. Perjanjian-perjanjian tersebut dapat dengan sekaligus bersifat horisontal dan vertikal seperti perjanjian dalam penetapaan harga. 

Perjanjian-Perjanjian, baik yang bersifat vertikal maupun horisontal (tertu­lis / lisan) apabila dilakukan dengan niat untuk mengurangi persaingan atau bahkan menghilangkan per­saingan di pasar (perjanjian yang bersifat restriktif) berdampak buruk bagi perekonomian. Oleh karenanya di banyak negara dikeluarkan aturan-aturan yang melarang esksistensi perjanjian ini.

Pengurangan, pembatasan atau penghilangan persaingan usaha antar perusahaan tidak saja dihasilkan oleh perjanjian yang dibuat antar perusahaan tapi juga dapat dilakukan oleh pemerintah yang mengeluarkan peraturan yang menghasilkan kondisi atau akibat yang sama terhadap pasar. Peraturan yang dihasilkan itu disebut peraturan yang bersifat restriktif. Pengeluaran peraturan tersebut banyak mendapat tentan­gan, tidak saja oleh perusahaan pesaing di dalam negeri namun pula dilakukan oleh perusahaan di luar negeri yang mempunyai akses ke pasar negara yang bersangkutan yang biasanya dilaku­kan melalui pemerintah asal perusahaan tersebut. Maka banyak negara meminta agar dilarang adanya peraturan yang bersifat restriktif itu melalui perjanjian internsional.

Praktek-praktek perjanjian atau pengaturan restriktif biasanya dilakukan dalam bentuk antara lain:

a.       Price Fixing (Perjanjian penetapan harga atau syarat-syarat penjualan lain).
Penetapan harga adalah salah satu di antara bentuk paling umum praktek bisnis restriktif dan terlepas apakah menyangkut barang atau jasa, di banyak negara dianggap seba­gai pelanggaran per se sementara di beberapa negara lain diatur secara rule of reason. Penetapan harga dapat terjadi di sembarang tingkatan di dalam proses produksi dan distribusi. Ia bisa mencakup perjanjian mengenai harga barang-barang primer, input antara atau produk final. Ia juga dapat menca­kup perjanjian yang berkaitan dengan bentuk khusus potongan harga, termasuk discount dan rabat, susunan daftar harga dan tukar-menukar informasi harga.
Contoh perkara yang ditangani KPPU adalah Kasus Kartel SMS.

Tender kolusif pada hakekatnya bersifat anti persain­gan, karena bertentangan dengan maksud tender itu sendiri, yang adalah untuk membeli barang atau jasa berdasarkan harga dan persyaratan yang paling menguntungkan. Tender secara kolusif dapat berbentuk macam-macam, misalnya "perjanjian untuk menyerahkan penawaran harga yang sama, perjanjian mengenai siapa yang harus menyerahkan penawaran terendah, perjanjian untuk menyerahkan penawaran bohong-bohongan (penawaran bohong dengan suka rela), perjanjian untuk tidak bersaing satu sama lain, perjanjian mengenai norma bersama dalam menghitung harga atau persyaratan lelang, perjanjian untuk membungkam peserta lelang yang tidak ikut dalam perjan­jian tersebut, perjanjian untuk memilih pemenangnya lebih dahulu atas dasar yang masuk akal atau atas dasar alokasi pelanggan atau alokasi geografis. Perjanjian-perjanjian seperti itu biasanya memberikan suatu sistem kompensasi bagi peserta lelang yang gagal berdasarkan suatu prosentase ter­tentu dari keuntungan peserta lelang yang menang untuk dibagi di antara peserta lelang yang gagal pada akhir jangka waktu tertentu.
Contoh perkara yang ditangani KPPU adalah perkara tender penjualan saham dan obligasi PT Indomobil Tbk. dan beberapa perkara lain.

Pengaturan alokasi pasar dan konsumen di antara perusa­haan mencakup penugasan kepada perusahaan tertentu untuk secara eksklusif menggarap konsumen atau pasar tertentu. Pengaturan seperti ini dimaksudkan terutama untuk memperkokoh atau mempertahankan pola perdagan­gan tertentu para pesaing yang meninggalkan (forgoing) per­saingan dalam hal konsumen atau pasar. Pengaturan demikian dapat bersifat membatasi untuk jenis produk tertentu atau jenis konsumen tertentu. Pengaturan alokasi konsumen dapat terjadi dalam perda­gangan dalam negeri maupun luar negeri; dalam hal terakhir ini mereka seringkali mencakup pembagian pasar internasional atas dasar geografis, yang mencerminkan hubungan pemasok-pembeli yang terjalin sebelumnya.
Contoh perkara yang ditangani KPPU adalah monitoring di industri bahan bangunan.

d.      Restraints on Production or Sales (Pembatasan produksi atau penjualan, termasuk dengan kuota).
Pengaturan pembagian pasar dapat juga dirancang atas dasar alokasi kuantitas ketimbang atas dasar wilayah atau kelompok konsumen. Pembatasan seperti itu seringkali diterap­kan di sektor-sektor yang memiliki surplus kapasitas atau dimana tujuannya adalah menaikan harga. Dibawah skema seperti itu perusahaan seringkali sepakat untuk membatasi pasokan sampai pada proporsi penjualan sebelumnya, dan untuk melaksa­nakan ini, kerap diciptakan pengaturan suatu pooling arrange­ment dimana perusahaan yang menjual kelebihan kuotanya dimin­ta membayar kepada pool tersebut sebagai kompensasi kepada mereka yang menjual di bawah kuota.
Contoh perkara yang ditangani KPPU adalah monitoring di industri bahan bangunan.

Penolakan bersama untuk membeli atau memasok, atau mengancam untuk itu, adalah salah satu dari cara paling lazim yang ditempuh untuk memaksa mereka yang tidak menjadi anggota suatu grup atau kelompok agar mengikuti kelompok aksi yang ditetapkan. Boikot grup dapat horisontal (misalnya anggota kartel dapat bersepakat di antara mereka untuk tidak menjual kepada atau membeli dari konsumen tertentu), atau dapat vertikal (mencakup perjanjian di antara para pihak dari berbagai tingkat produksi dan tingkat distribusi) untuk meno­lak berhubungan bisnis dengan pihak ketiga, biasanya pesaing dari salah satu yang disebutkan di atas.
Contoh perkara yang ditangani KPPU adalah perkara PT Telkom, Tbk.

f.       Collective Denial of Access to An Arrangements or Asso­ciation (Penolakan bersama terhadap pihak untuk mengiku­ti suatu Persetujuan atau suatu Asosiasi).
Keanggotaan suatu asosiasi profesi dan dagang adalah lazim dalam produksi dan penjualan dari barang dan jasa. Aso­siasi seperti itu biasanya memiliki aturan tertentu mengenai persyaratan menjadi anggota dan biasanya siapa yang memenuhi persyaratan tersebut diperbolehkan menjadi anggota. Tetapi persyaratan menjadi anggota dapat dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat menghadang (menghalangi) masuknya pesaing (calon pesaing) baik melalui diskriminasi terhadapnya atau bertindak seperti "toko tutup". Namun demikian sebagai mana diatur di AS, profesional syah (handal) yang bersangkutan dapat dengan syah/benar menolak individu dari asosiasi profe­sional.

Penolakan kolektif ke dalam suatu persetujuan dapat juga berbentuk penolakan masuk ke suatu fasilitas/ kemudahan yang perlu dalam rangka bersaing secara efektif di pasar tersebut. Dalam kaitan ini, konsep "fasilitas/kemudahan yang  perlu bagi persaingan" telah diterima di AS dengan menetapkan bahwa suatu kelompok pembeli lebih dari 30 persen pangsa pasar dapat mengeluarkan perusahaan seperti yang diinginkan.      
Contoh perkara yang ditangani KPPU adalah monitoring di industri bahan bangunan.



2.      Penyalahgunaan Posisi Dominan.[7]

a.       Predatory Behaviour Towards Competitors (lihat juga Rising Rival’s Cost).
Perilaku mematikan terhadap pesaing-pesaingnya, seper­ti penggunaan kebijakan harga di bawah biaya produksi, untuk mematikan pesaing-pesaingnya.

Salah satu bentuk paling umum perilaku mematikan pasar, biasanya adalah penerapan strategi harga yang mematikan. Perusahaan melakukan perbuatan seperti  itu untuk menggusur perusahaan-perusahaan yang sedang bersaing  ke luar dari jalur bisnis. Semakin besar diversifikasi kegiatan perusahaan tersebut arti produk dan pasar, semakin besar sumber daya keuangannya, semakin besar pula kemampuannya untuk melakukan perbuatan mematikan.
Contoh perkara yang ditangani KPPU adalah monitoring di industri makanan.

b.      Discriminations.
Diskriminasi harga, dalam hal ini pembedaan harga tanpa alasan ekonomis kuat atau diskriminasi dalam persyaratan, kondisi dalam pemasokan atau pembelian harga barang atau jasa, termasuk dengan menggunakan kebijakan harga dalam transaksi di antara perusahaan yang bera­filiasi dengan peninggian atau perendahan harga barang atau jasa yang dibeli atau dipasokkan dibandingkan dengan transaksi yang saama atau serupa terhadap perusahaan di luar afiliasinya.

Erat kaitannya dengan dengan siasat harga mematikan adalah praktek diskriminasi harga. Jika taktik harga di bawah biaya produksi terhadap pesaing langsung, jelas-jelas bersi­fat mematikan (predatory), taktik diskriminasi harga dapat juga bersifat mematikan, seperti misalnya dalam hal pemberian potongan harga (discount) berdasarkan kuantitas, "sistem bonus" atau "discount karena kesetiaan".
Contoh perkara yang ditangani KPPU adalah monitoring di industri bahan baku untuk industri makanan.

c.       Resale Price Maintenance.
Penetapan harga jual kembali suatu barang, pada umumnya oleh pabrikan atau oleh wholesaler biasanya dinamakan resale price maintenance (RPM).
Sementara penerapan suatu harga jual kembali adalah dilarang, peraturan perundang-undangan di banyak negara tidak melarang harga jual kembali maksimum (dalam hal ini Inggris) ataupun harga yang dianjurkan atau recomended prices (dalam hal ini, Inggris dan Amerika Serikat). Di Amerika Serikat praktek harga jual kembali yang dianjurkan akan tidak syah jika diketemukan bukti adanya tekanan langsung maupun tidak langsung dalam penerapan kebijaksanaan tersebut. Di Inggris meskipun harga jual kembali yang dianjurkan itu tidak dilar­ang, tetapi the Director General of Fair Trading boleh melarang penyalahgunaan harga yang dianjurkan tersebut, misalnyaa jika harga tinggi yang tidak wajar itu dianjurkan dalam rangka menarik perhatian kepada suatu potongan harga yang kelihatan lebih tinggi. Di Kanada, publikasi oleh suatu pemasok produk suatu iklan yang menyebutkan harga jual kembali produk tersebut dianggap sebagai suatu usaha untuk mempengaruhi harga penjualan menjadi naik, kecuali jika diperjelas bahwa produk tersebut dapat dijual pada harga yang lebih rendah.
Contoh perkara yang ditangani KPPU adalah Kasus Semen Gresik.

d.      Jika tanpa ada alasan bisnis yang sah melakukan pembatasan seperti mencapai kualitas, keamanan, distribusi atau pelayanan yang memadai suatu perusahaan:
(i)   Menolak secara penuh atau sebagian untuk bertransaksi berdasarkan persyaratan komersil yang lazim.
(ii)  Membuat pemasokan barang-barang atau jasa-jasa tertentu tergantung pada penerimaannya atas pembatasan-pembatasan dalam distribusi atau pembuatan barang-barang bersaing atau barang-barang lainnya;
(iii)Menerapkan pembatasan mengenai kemana, kepada siapa, atau bentuk apa atau jumlah berapa, barang-barang yang dipa­sokkan atau barang-barang lainnya dapat dijual kembali atau diekspor;
(iv) Membuat pemasokkan barang atau jasa tertentu tergantung pada pembelian barang atau jasa lain dari pemasok atau yang ditunjuknya (bundling).
Contoh perkara yang ditangani KPPU adalah perkara PT Garuda Indonesia.

e.       Mergers, takeovers, joint ventures atau akuisisi kon­trol lainnya (restrukturisasi antar perusahaan), termasuk inter­locking directorships, apakah itu bersifat vertikal, horisontal atau konglomerasi.

Untuk bisa dikatakan bahwa suatu tindakan merupakan perbuatan atau prilaku penyalahgunaan posisi dominan melalui Mergers, takeovers, joint ventures atau akuisisi kontrol lainnya, termasuk interlocking directorships. Menurut penda­pat UNCTAD ciri khas adanya potensi penyalahgunaan posisi dominan tersebut apabila dari adanya restrukturisasi dua atau lebih perusahaan tersebut mengha­silkan suatu perusahaan dominan dan menurunkan tingkat persaingan secara berarti dalam suatu pasar yang didominasi oleh sedikit perusahaan.

Di samping adanya potensi penyalahgunaan posisi dominan, restrukturisasi antar perusahaan tersebut dapat pula mengakibatkan konsentrasi penguasaan ekonomi (concentration of economic power).

Merger ialah suatu tindakan penggabungan antara dua atau lebih perusahaan dimana identitas salah satu atau dua di antaranya hilang dan hasilnya adalah satu perusahaan. Takeovers suatu perusahaan oleh perusahaan lainnya biasanya menyangkut pembe­lian semua atau sebagian besar saham atau asset signifikan dari perusahaan lainnya sehingga memungkinkan terlaksananya pengendaalian dan itu dapat tanpa adanya perusahaan lainnya tadi. Joint venture menyangkut pembentukan suatu perusahaan terpisah oleh dua atau lebih perusahaan. Cara memperoleh pengendalian seperti itu dalam banyak kasus mengakibatkan konsentrasi kekuatan ekonomi yang dapat bersifat horisontal (misal, akuisisi terhadap seorang pesaing), vertikal (misal, antar perusahaan pada berbagai tahap proses manufakturing dan distribusi), atau konglomerat (melibatkan berbagai jenis kegiatan). Dalam beberapa hal lain konsentrasi seperti itu dapat sekaligus bersifat horisontal dan vertikal, dan perusahaan-perusahaan yang terlibat dapat berasal dari satu atau lebih negara.
Suatu interlocking directorship (rangkap jabatan direktur) adalah keadaan dimana seseorang adalah anggota dewan direksi dari dua atau lebih perusahaan atau  wakil dari  dua atau lebih  perusahaan bertemu dalam dewan direksi dari salah satu perusahaan. Interlocking directorship dapat mempengaruhi persaingan dalam/dengan sejumlah cara. Dapat bermuara pada kontrol ad­ministratif, dalam putu­san mengenai investasi dan produksi dapat dengan efektif menjurus pada pembentukan strategi bersama antar perusahaan mengenai harga, alokasi pasar dan kegiatan kolektif lainnya. Interlocking directorates pada tingkat vertikal dapat menga­kibatkan integrasi vertikal kegiatan seperti misalnya, antar­ra pemasok dan pelanggan menurun ekspansi ke bidang-bidang yang kompetitif, dan menjurus kepada pengaturan timbal balik di antara mereka. Kaitan antara direktur perusahaan keuangan dan perusahaan non-keuangan dapat berakibat pada kondisi keuangan yang bersifat diskriminatif bagi para pesaing dan berfungsi sebagai katalisator bagi akuisisi kontrol secara konglomerat atau secara vertikal-horisontal. 
Contoh perkara yang ditangani KPPU adalah perkara PT Jakarta International Container Terminal dan Perkara Industri Televisi Berbayar.


4.      Praktek Bisnis Tidak Jujur (Curang).
Praktek ini merupa­kan praktek bisnis yang dilarang berdasarkan asas per se. Kebanyakan praktek ini langsung merugikan konsumen, maka sebagian besar rezim pengaturan di beberapa negara memasukkan praktek ini ke dalam pengaturan dalam perlindungan konsumen. Praktek tersebut antara lain:
a.       Perbuatan yang bersifat bohong atau menyesatkan.
b.      Pernyataan menyesatkan mengenai sifat, ciri, standar atau mutu suatu barang, jasa tertentu, usaha tertentu. 
c.       Pernyataan bohong dalam pemberian hadiah atau potongan harga.
d.      Iklan bohong.
e.       Penjualan barang atau jasa disertai janji potongan harga apabila pembeli membawa serta calon pembeli lain kepada penjual.
f.       Penjualan barang atau jasa dengan mendatangi tempat tinggal calon pembeli dengan cara tidak pantas.
g.      Penjualan piramidal.
h.      Penjualan barang‑barang yang tidak memenuhi standar keselama­tan barang atau konsumen.
i.        Penjualan barang yang tidak memenuhi standar informasi barang konsumsi.

Contoh perkara, banyak dijumpai dalam perkara-perkara perlindungan konsumen.




5.      Praktek Bisnis Trans‑National yang Merugikan.
Melihat trend global yang ada, ternyata terminologi praktek bisnis trans-national yang merugikan tidak hanya yang terkait dengan aspek perekonomian saja tetapi lebih luas dari itu yaitu melingkupi pula issue hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Beberapa contoh dari praktek bisnis trans-national yang merugikan antara lain:
a.       Penjualan dengan cara Dumping.
b.      Pemberian Subsidi yang tidak rasional.
c.       Transfer Pricing.
d.      Penjualan barang hasil pekerjaan narapidana.
e.       Ekspor dan Impor barang yang melanggar Intellectual Property Rights.
f.       Kuota impor dan ekspor.
g.      Penjualan produk hasil perusakan lingkungan.

Contoh perkara, banyak ditangani oleh Komite Anti Dumping Indonesia. 




III.             Sumber-sumber Hukum Persaingan Usaha di Indonesia


Hukum persaingan usaha di Indonesia pada hakekatnya tidak hanya bersumber dari UU No.5 / 1999 saja namun lebih dari itu. Hukum persaingan usaha pada intinya bersumber pula pada konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945, dan kemudian dijabarkan ke dalam produk perundang-undang termasuk UU No. 5 / 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat dan undang-undang sektoral yang lain.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai sumber-sumber hukum persaingan usaha dalam konteks Indonesia terdapat beberapa hal yang perlu diklarifikasi sebelumnya.

Pertama, klarifikasi konsep “kebijakan” (“policy”)[8] dan “hukum” (“law”) terkait dengan issue persaingan usaha. Perbedaan pengertian antara terminologi “Kebijakan Persaingan Usaha” (“Competition Policy”) dengan Hukum Persaingan Usaha (“Competition Law”) pada dasarnya terletak pada keluasan lingkup pengertian dan bidang pembahasan dari kedua terminologi tersebut. Pengertian Kebijakan Persaingan Usaha (Competition Policy) melingkupi pula pengertian dari Hukum Persaingan Usaha (Competition Law). Atau dengan kata lain bidang Hukum Persaingan Usaha merupakan salah satu cabang pembahasan dalam Kebijakan Persaingan Usaha. Sedang pengertian dan lingkup bidang dari Hukum Persaingan Usaha tidak melingkupi seluruh pengertian dan bidang dalam Kebijakan Persaingan Usaha (Kerrin M. Vautier dan Peter J. Lloyd, 1997).
Definisi Kebijakan Persaingan Usaha disamping melingkupi Hukum Persaingan Usaha, juga melingkupi perihal deregulasi, foreign direct investment, serta kebijakan lain yang ditujukan untuk mendukung persaingan usaha seperti pengurangan pembatasan impor dan aspek kepemilikan intelektual (intellectual property).

Kedua, di dalam rezim pengaturan persaingan usaha terdapat dua pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah pendekatan yang dikenal dengan istilah “per se” dan pendekatan yang kedua dikenal dengan “rule of reason”.
Pada illegal per se (dengan sendirinya / “by itself” atau “in itself” (Ray August, 1997) dan not subject to interpretation (Roger Alan Boner dan Reinald Krueger, 1991)) beberapa bentuk persaingan usaha, misalnya penetapan harga (price fixing), harus dianggap secara otomatis (dengan sendirinya) bertentangan dengan atau melanggar hukum karena aspek negatifnya dapat langsung terlihat atau diduga. Pendekatan pelarangan ini, penekanannya terletak pada unsur formal dari perbuatannya. Sehingga tidak diperlukan adanya klausula kausalitas di dalam pengaturannya seperti klausula “…mengakibatkan kerugian perekonomian dan atau pelaku usaha lain.”
Sedangkan dengan “rule of reason”, beberapa bentuk tindakan persaingan usaha baru dianggap salah jika telah terbukti adanya akibat dari tindakan tersebut yang merugikan pelaku usaha lain atau perekonomian nasional secara umum. Dalam pendekatan rule of reason, mungkin saja dibenarkan adanya suatu tindakan usaha yang meskipun anti-persaingan (misalnya tindakan merger yang menghasilkan dominasi satu pelaku usaha) tetapi menghasilkan suatu efisiensi yang menguntungkan konsumen atau perekonomian nasional pada umumnya. Atau sebaliknya suatu tindakan usaha dianggap salah karena meskipun ditujukan untuk efisiensi tetapi ternyata dalam prakteknya mengarah kepada penyalahgunaan posisi dominan yang merugikan pelaku usaha, konsumen, dan perekonomian nasional umumnya, seperti pada tindakan integrasi vertikal yang disertai dengan tindakan restriktif (menghasilkan barriers to entry). Oleh karenanya, penekanan pada rule of reson adalah unsur material dari perbuatannya.  Dan pada rule of reason, tindakan restriktif tidak rasionil yang menjadi sasaran pengendaliannya dan penentuan salah tidaknya digantungkan kepada akibat tindakan usaha (persaingan) terkait terhadap pelaku usaha lain, konsumen dan atu perekonomian nasional pada umumnya. Maka dari itu untuk tindakan-tindakan tersebut dalam substansi pengaturannya dibutuhkan klausula kausalitas seperti di atas.

Untuk negara berkembang seperti Indonesia dimana kondisi sumber daya manusia pelaksana hukumnya (termasuk otoritas pengawas persaingan usaha) masih belum memadai, direkomendasikan untuk lebih banyak menggunakan pendekatan “per se” ketimbang “rule of reason”. Hal ini karena pendekatan per se lebih sederhana dalam  pembuktiannya ketimbang rule of reason (Roger Alan Boner dan Reinald Krueger, 1991). Namun begitu tindakan-tindakan yang terkait dengan masalah struktur perusahaan seperti merger, konsolidasi, dan akuisisi serta integrasi vertikal yang memang memiliki unsur tujuan efisiensi tetap diperlukan pendekatan rule of reason ketimbang per se.

Berkaitan dengan tujuan dari hukum persaingan usaha terdapat beberapa referensi yang perlu diperhatikan antara lain:

a.       United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD, 1994) menyatakan bahwa tujuan dari suatu undang-undang persaingan usaha adalah:
“to control or eliminate restrictive agreements or arrangement among enterprises, or acquisition and/or abuse of dominant positions of market power, which limit access to markets or otherwise unduly restrain competition, adversely affecting domestic or international trade or economic development.”
Namun begitu UNCTAD memberi peluang untuk bisa saja dicantumkan tujuan-tujuan spesifik lainnya seperti ”the creation, encouragement, and protection of competition; control of the concentration of capital and/or economic power; encouragement of innovation; protection and promotion of social welfare and in particular the interests of consumers, etc., and take into account the impact of restrictive business practices on their trade and development."

b.      Roger Alan Boner dan Reinald Krueger (1991) menyatakan bahwa:
In practice, most forms of competition policy are designed either to undermine the ability of suppliers to exercise market power or to inhibit the ability of dominant enterprises to abuse their size. This is because the exercise of market power is often incompatible with economic efficiency, and dominance allows a supplier to erect private barriers to trade, restrict competition, and compromise the economic freedom and visibility of other parties.

c.       Ernest Gellhorn (1986) menyatakan bahwa:
The antitrust laws are designed to control exercise of private economic power by preventing monopoly, punishing cartels, and otherwise protecting competition; …to encrease consumer welfare by assuring that markets remain open to entry and that output can expand-thus to maximize national wealth; …and whether antitrust law also serves to promote equality of business opportunity, the just distribution of goods, or other social or political goals is a matter of intense debate.

Dari tujuan-tujuan yang dikemukakan di atas dapatlah dikemukakan bahwa tujuan mendasar dari kebijakan persaingan usaha dari perspektif ekonomi dan hukum adalah mengontrol kepemilikan kekuatan ekonomi yang tidak efisien dan menghindari penyalahgunaan posisi dominan dalam pasar. Sedangkan tujuan derivatif-nya antara lain adalah mensejahterakan masyarakat khususnya konsumen (misalnya perolehan harga yang efisien), kesamaan kesempatan berusaha, distribusi produk yang merata, dll.

Sementara tujuan pembentukan UU No. 5 / 1999 sebagaimana Pasal 3 adalah:
a.       menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b.      mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
c.       mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d.      terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Apabila dibandingkan antara referensi yang dikemukakan di atas dengan tujuan-tujuan yang tercantum di dalam Pasal 3 UU No. 5 / 1999 tersebut maka dapat dinyatakan bahwa:
a.       tidak sepenuhnya tujuan mendasar dari sebuah kebijakan persaingan usaha terakomodasi di dalam UU No. 5 / 1999 karena tidak terdapat tujuan “untuk menghindari penyalahgunaan posisi dominan”;
b.      tujuan-tujuan yang tercantum formulasinya sangat umum dan hanya yang sifatnya derivatif saja;
c.       beberapa tujuan yang tercantum sangat intepretatif dengan kata lain dapat memberikan peluang kepada pengambil kebijakan untuk mengintepretasikannya secara subyektif seperti klausula “kepentingan umum” dan “melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat”.

1.      Undang-Undang Dasar 1945.

Undang‑Undang Dasar 1945 yang merupakan landasan konstitu­sional dalam kehidupan kenegaran bangsa Indonesia, dalam pasal 33 dinyatakan bahwa:
-          Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
-          Cabang‑cabang produksi yang penting bagi negara dan mengua­sai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
-          Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar‑besar kemak­muran rakyat.

Kemudian penjelasan pasal tersebut, mencantumkan istilah dan sekaligus konsep "demokrasi ekonomi". Hal ini merupakan satu penegasan bahwa "kemakmuran ditujukan bagi semua orang". Untuk mencapai tujuan tersebut maka cabang‑cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Hal ini adalah untuk menjaga agar rakyat banyak tidak di bawah kekuasaan orang-perorang yang menguasai cabang‑cabang produksi yang penting bagi negara. Oleh karena itu, hanya "perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang‑seorang".            

Apabila ditafsirkan berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa monopoli yang ada dan boleh dilakukan di Republik Indonesia adalah hanya apabila dilakukan oleh negara. Dan sesuai dengan tujuan Negara Republik Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945, maka monopoli itu hanya boleh dilakukan bila ditujukan untuk "mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat".

Namun kemudian yang menjadi permasalahan dan perlu penjabar­annya lebih lanjut dalam sebuah aturan hukum yang tegas adalah:
-          Produk‑produk atau bidang‑bidang apa saja yang "menguasai hajat hidup orang banyak"? Hal itu perlu ditegaskan karena pada saat ini memang belum ada aturan hukum yang tegas‑tegas menja­barkannya. Sehingga dianggap belum ada pedoman yang pasti. Namun perlu diperhatikan yaitu apabila suatu produk atau bidang‑bidang yang nanti tidak dinyatakan bukan merupakan "yang menguasai hajat hidup orang banyak" bila dikuasai oleh satu tangan maka tetap saja ada kemungkinan atau kecenderungan pula merugikan rakyat. 
-          Bagaimana maksud dan arti secara mekanis terhadap terminologi "dikuasai oleh negara"? Hal tersebut diperlukan karena akhir‑akhir ini dirasakan adanya perbedaan penafsiran. Mantan Presiden Soeharto pernah menyatakan bahwa maksud dari "dikuasai oleh negara" bukan berarti harus dikelola oleh negara dalam hal ini Pemerintah, namun bisa pula ditunjuk pihak swasta. Ditunjuk oleh Pemerintah, yang tentunya dengan atau atas dasar hukum dan dalam sebuah mekanisme pengawasan. Namun beberapa pakar hukum disinyalir memiliki perbedaan pendapat dan penafsiran yang berlawan. Penafsiran yang memang selama ini menjadi pegangan masyarakat, yaitu bahwa "dikuasai negara" berarti haruslah dilaksanakan pula oleh negara melalui atau dengan mendirikan Badan Usaha Milik Negara dan atau Badan Usaha Milik Daerah.

2.      Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Di bawah ini dipaparkan ringkasan dari substansi UU No. 5 / 1999 sebagaimana berikut.
a.       Larangan terhadap dua atau lebih pelaku usaha untuk melakukan perjanjian yang bersubstansi:
·         Praktek Oligopoli (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menguasai produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 4).
·         Penetapan Harga (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk: menetapkan harga (kecuali dalam usaha patungan atau berdasar undang-undang); diskriminasi harga; membuat harga di bawah harga pasar; atau melarang penjualan kembali dengan harga yang lebih rendah dari harga yang ditetapkan, Pasal 5-8).
·         Pembagian wilayah pemasaran (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menetapkan wilayah pemasaran atau alokasi pasar sehingga dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 9).
·         Pemboikotan (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama atau menolak untuk menjual produk pelaku usaha lain, Pasal 10)
·         Kartel (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 11).
·         Trust (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk membentuk gabungan perusahaan dengan tetap mempertahankan kelangsungan perusahaan masing-masing dengan tujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran sehingga dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 12).
·         Oligopsoni (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menguasai pasokan agar dapat mengendalikan harga yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 13).
·         Integrasi Vertikal (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menguasai rangkaian produksi berkelanjutan yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat dan merugikan masyarakat, Pasal 14).
·         Perjanjian Tertutup (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih yang berisi syarat bahwa penerima pasokan hanya akan memasok atau tidak akan memasok produk tersebut kepada pelaku usaha lain; harus bersedia membeli produk lainnya dari pemasok; atau mengenai harga atau potongan harga yang akan diterima bila bersedia membeli produk lain atau tidak membeli produk yang sama dari pelaku usaha lain, Pasal 15).
·         Perjanjian denga Pihak Luar Negeri (perjanjian dengan pelaku usaha luar negeri yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 16).
b.      Larangan terhadap suatu kegiatan atau tindakan sebagai berikut:
·         Monopoli (pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan pemasaran yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 17).
·         Monopsoni (pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 18).
·         Penguasaan Pasar (dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, sendiri atau bersama yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat berupa: menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama; atau menghalangi konsumen untuk bertransaksi dengan pelaku usaha tertentu; atau membatasi peredaran dan penjualan produk; atau melakukan diskriminasi (Pasal 19); melakukan jual rugi untuk menyingkirkan pesaing (Pasal 20); dengan curang menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya (Pasal 21)).
·         Persekongkolan (dilarang melakukan tender kolusif (Pasal 22), bersekongkol mendapatkan rahasia perusahaan pesaing (Pasal 23), bersekongkol untuk menghambat produksi dan atau pemasaran pesaing (Pasal 24)).
c.       Penyalahgunaan Posisi Dominan:
·         Dilarang menggunakan posisi dominan secara langsung maupun tidak untuk menetapkan syarat perdagangan guna menghalangi konsumen; membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau menghambat pesaing memasuki pasar bersangkutan. Pasal 25.
·         Jabatan rangkap (dilarang merangkap jabatan direktur/komisaris di dua perusahaan atau lebih bila perusahaan lainnya; berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau memiliki keterkaitan dalam bidang dan jenis usaha; secara bersama menguasai pangsa pasar; yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat), Pasal 26.
·         Pemilikan saham (dilarang pemilikan saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis apabila mengakibatkan satu atau sekelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar; atau dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar), Pasal 27.
Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan (dilarang bila dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dan ada kewajiban notifikasi bila mengakibatkan penguasaan aset atau nilai tertentu), Pasal 28 dan 29.

d.      Undang-undang ini menetapkan pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang memiliki kewenangan yang signifikan untuk tidak hanya mengawasi pelaksanaan undang-undang ini tetapi juga untuk melakukan tugas penilaian perjanjian, kegiatan usaha, penyalahgunaan posisi dominan, melakukan tindakan berdasar kewenangan, memberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah serta berwenang untuk menerima laporan, penelitian, penyelidikan, memanggil pelaku usaha dan saksi, meminta keterangan institusi pemerintah, memutuskan dan menjatuhkan sanksi administratif yang berkaitan dengan kasus dugaan pelanggaran undang-undang ini. Pasal 30-37.

e.       Undngan-undang ini juga menetapkan suatu tata cara khusus dalam penanganan perkara persaingan usaha. Dan terdapat ketentuan acara khusus bagi lembaga peradilan dalam menangani kasus persaingan usaha seperti ditiadakannya upaya banding ke Pengadilan Tinggi yang ada adalah upaya kasasi ke Mahkamah Agung terhadap putusan Pengadilan Negeri atas kasus persaingan usaha. Pasal 38-46.

f.       Sanksi dalam undang-undang ini dibagi dua yaitu sanksi administratif (kewenangan KPPU) dan sanksi pidana (kewenangan peradilan umum). Sanksi administratif bisa terdiri dari pembatalan perjanjian, penghentian integrasi vertikal, kegiatan usaha, dan penyalahgunaan posisi dominan, pembatalan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan, penetapan ganti rugi, dan atau pengenaan denda sebesar antara Rp 1 miliar sampai Rp 25 miliar.  Sedangkan untuk sanksi pidana dapat terdiri dari pidana pokok berupa pidana denda sebesar Rp 1 miliar sampai Rp 100 miliar rupiah dengan pidana kurungan antara 3 sampai 6 bulan serta pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha, larangan untuk menduduki posis direksi atau komisaris selama 2 sampai 5 tahun, atau penghentian kegiatan atau tindakan usaha yang menyebabkan kerugian. Pasal 47-49.

g.      Undang-undang ini juga menetapkan adanya pengecualian berlakunya aturan dalam undang-undang (Pasal 50-51) untuk:
·         Perbuatan dan atau perjanjian itu untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku[9];
·         Perjanjian yang terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual dan waralaba;
·         Yang berkaitan dengan standar teknis;
·         Perjanjian dalam kerangka keagenan;
·         Perjanjian kerjasama penelitian;
·         Perjanjian internasional yang telah diratifikasi;
·         Perjanjian dan atau perbuatan dalam rangka ekspor dengan tidak mengganggu pasokan dalam negeri;
·         Pelaku usaha kecil;
·         Kegiatan usaha koperasi yang melayani anggotanya.
·         Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang dilakukan oleh BUMN atau badan atau lembaga yang dibentuk pemerintah sebagaimana diatur dalam undang-undang.

3.      Peraturan Perundang-undangan Umum dan Sektoral Bersubstansi Persaingan Usaha.


Di bawah ini dipaparkan mengenai beberapa aturan perundang-undangan di luar UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat baik yang umum (seperti KUH Per dan KUHP) dan sektoral (seperti UU Perseroan Terbatas dll) yang memiliki substansi yang secara signifikan menyinggung issue persaingan usaha.

a.      Kitab Undang‑Undang Hukum Perdata.

Di antara berbagai ketentuan yang terdapat pada KUH Perdata yang dapat melindungi pelaku usaha dari tindak pelaku usaha lain yang merugikan adalah Pasal 1365. Pasal 1365 ini yang terkait dengan perihal “perbuatan melanggar hukum” dalam lingkup KUH perdata. Di dalam Pasal ini dinyatakan bahwa:
"Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, meng­ganti kerugian tersebut".
Setiap pihak yang menderita kerugian akibat suatu persaingan yang tidak wajar, menurut pasal ini, dapat menuntut ganti rugi apabila dapat dibuktikan bahwa perbua­tan tersebut sebagai perbuatan yang "melanggar hukum".

b.      Kitab Undang‑Undang Hukum Pidana.

Di dalam Pasal 382 bis KUH Pidana dinyatakan bahwa:
"Barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas debit perdagangan atau perusahaan kepunyaan sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seorang tertentu, diancam, jika karenanya dapat timbul kerugian bagi konkiren‑konkirennya atau konkiren‑konkiren orang lain itu, karena persaingan curang dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah."

Pasal ini memberikan ancaman pidana penjara terhadap atau kepada orang yang melakukan "persaingan curang". Seseorang dise­but melakukan persaingan curang menurut pasal ini adalah apabila dapat dibuktikan memenuhi unsur-unsur bahwa:
o   ia melakukan suatu perbuatan penipuan;
o   penipuan itu dilakukan untuk memperdayai masyarakat atau orang lain;
o   perbuatan itu dilakukan untuk menarik keuntungan di dalam usahanya atau usaha orang lain; dan
o   perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi saingannya.

Ketiadaan pemenuhan salah satu unsur, tidak dapat dipidana oleh pasal ini.

c.       Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Dalam Undang-Undang No. 40 tahun 2007 disinggung masalah persaingan usaha pada Bab VII tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Pemisahan, tepatnya pada Pasal 126 yang menyatakan bahwa:
(1)   “Perbuatan hukum penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan wajib memperhatikan kepentingan:
o   Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;
o   Kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
o   masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.”
(2)   “Pemegang saham yang tidak setuju terhadap keputusan RUPS mengenai Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan sebagaimana dimkasud pada ayat (1) hanya boleh menggunakan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62”
(3)   Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghentikan proses pelaksanaan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan.

Adapun Penjelasan Pasal 126 tersebut adalah sebagai berikut:
Penjelasan Pasal 126 ini menyatakan:
(1)   “Ketentuan ini menegaskan bahwa penggabungan, peleburan, pengambil-alihan, atau pemisahan tidak dapat dilakukan kalau akan merugikan kepentingan pihak-pihak tertentu. Selanjutnya dalam penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan harus juga dicegah kemungkinan terjadinya monopoli atau monopsoni dalam berbagai bentuk yang merugikan masyarakat.”
(2)   “Pemegang saham yang tidak menyetujui penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan berhak meminta kepada perseroan agar sahamnya dibeli sesuai dengan harga wajar saham dari perseroan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 123 ayat (2) huruf c dan Pasal 125 ayat (6) huruf d.”

d.      Undang‑Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.

Di dalam Pasal 7 Undang‑Undang No. 5 tahun 1984 tentang Perindustrian dinyatakan bahwa
“Pemerintah mela­kukan pengaturan industri, untuk:
(1)   mewujudkan perkembangan industri yang lebih baik secara sehat dan berhasil guna;
(2)   mengembangkan persaingan yang baik dan sehat, mencegah per­saingan tidak jujur; dan
(3)   mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelom­pok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyara­kat.”
     
Sedangkan di dalam penjelasan Pasal ini dinyatakan bahwa:
“Melalui pengatu­ran, pembinaan dan pengembangan:
o   Pemerintah mencegah penanaman modal yang boros serta timbulnya persaingan yang tidak jujur dan curang dalam kegiatan bidang usaha industri, dan sebaliknya mengembangkan iklim persaingan yang baik dan sehat.
o   Pemerintah mence­gah pemusatan dan penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.”

e.       Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

Substansi aturan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang menyinggung permasalahan persaingan usaha, khususnya persaingan dalam kegiatan Pasar Modal, nampak dalam beberapa aturannya antara lain sbb.:

- Pasal 4:
“Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilaksanakan oleh Bapepam dengan tujuan mewujudkan terciptanya kegiatan Pasar Modal yang teratur, wajar, dan efisien.”

- Pasal 7 (1):
“Bursa Efek didirikan dengan tujuan menyelenggarakan perdagangan Efek yang teratur, wajar, dan efisien.”
Penjelasan Pasal 7 (1):
“Perdagangan Efek secara teratur, wajar dan efisien adalah suatu perdagangan yang diselenggarakan berdasarkan suatu aturan yang jelas dan dilaksanakan secara konsisten. Dengan demikian, harga yang terjadi mencerminkan mekanisme pasar berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran. Perdagangan Efek yang efisien tercermin dalam penyelesaian transaksi yang cepat dengan biaya yang relatif murah.”

- Pasal 10:
“Bursa Efek dilarang membuat ketentuan yang menghambat anggotanya menjadi Anggota Bursa Efek lain atau menghambat adanya persaingan yang sehat.”
Penjelasan Pasal 10:
“Larangan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk menghindari timbulnya persaingan yang tidak sehat di antara Bursa Efek. Oleh karena itu suatu perusahaan Efek dapat menjadi anggota lebih dari satu Bursa Efek.”

- Pasal 14 Ayat (1) dan (2):
(1)   “Lembaga Kliring dan Penjaminan didirikan dengan tujuan menyediakan jasa kliring dan penjaminan penyelesaian Transaksi Bursa secara teratur, wajar dan efisien.”
(2)   “Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian didirikan dengan tujuan untuk menyediakan jasa Kustodian sentral dan penyelesaian transaksi yang teratur, wajar, dan efisien.”

Penjelasan Pasal 14 Ayat (1):
(1)   “Kegiatan Kliring pada dasarnya merupakan suatu proses yang digunakan untuk menetapkan hak dan kewajiban para Anggota Bursa Efek atas transaksi yang mereka lakukan sehingga mereka mengetahui hak dan kewajiban masing-masing.”

- Bab V tentang Perusahaan Efek, Wakil Perusahaan Efek dan Penasihat Investasi, Bagian Keempat tentang Pedoman Perilaku.

Mengatur mengenai pedoman perilaku yang terdiri dari 8 pasal (Pasal 35 sampai dengan Pasal 42). Dalam substansi pengaturan dalam Bagian Keempat tersebut di atur hal-hal penting seperti bahwa Perusahaan Efek dan Penasehat Investasi dilarang untuk mengadakan tekanan kepada Nasabah, mengungkapkan informasi mengenai nasabah, memberikan informasi salah kepada nasabah, berkolusi dengan pihak yang terafiliasi yang merugikan pihak yang tidak terafiliasi dll.

- Bab IX tentang Emiten dan Perusahaan Publik.
Dalam substansi pengaturan Bab ini ditekankan bahwa Emiten dan Perusahaan Publik harus menyampaikan pernyataan yang benar dan tidak menyesatkan mengenai kondisi jati diri dan usahanya pada dokumen Pernyataan Pendaftaran, Prospektus dan Pengumuman-Pengumuman. Dan dokumen-dokumen tersebut harus dibuat dengan Prinsip Keterbukaan.

- Pasal 84:
“Emiten atau Perusahaan Publik yang melakukan penggabungan, peleburan, keterbukaan, kewajaran dan pelaporan yang ditetapkan oleh Bapepam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Penjelasan Pasal 84:
“Ketentuan yang dimaksudkan dalam Pasal ini ditujukan untuk melindungi kepentingan pemodal dari praktek yang merugikan pemodal dalam transaksi penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan termasuk penyertaan yang melibatkan Emiten atau Perusahaan Publik, dengan mewajibkan Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud untuk memenuhi Prinsip Keterbukaan dan Pelaporan yang ditetapkan oleh Bapepam. Pelaksanaan ketentuan ini dilakukan tanpa mengurangi ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.”
- Bab XI tentang Penipuan, Manipulasi Pasar, dan Perdagangan Orang Dalam.
Bab ini dalam substansi pengaturannya pada intinya melarang penipuan dan manipulasi pasar dalam bentuk apapun yang dilakukan oleh setiap pihak yang terkait dengan Bursa Efek. Juga adanya larangan terjadinya transaksi yang melibatkan orang dalam baik yang terkait dengan terjadinya jual beli maupun informasi yang dapat menyebabkan adanya jual beli.

f.       Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.

Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil pun dalam pengaturannya menyinggung masalah persaingan dalam Bab VI tentang Iklim Usaha pada Pasal 6 dan Pasal 8.

Pasal 6 menyatakan:
Pemerintah menumbuhkan iklim usaha bagi Usaha Kecil melalui penetapan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan meliputi aspek:

…;
persaingan;
…;”

Dunia usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif menumbuhkan iklim usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Sedangkan pada Pasal 8 dinyatakan:
“Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek persaingan sebagaimana dimaksud Pasal 6 Ayat 1 Huruf b dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk:
-          meningkatkan kerja sama sesama Usaha Kecil dalam bentuk koperasi, asosiasi, dan himpunan kelompok usaha untuk memperkuat posisi tawar Usaha Kecil;
-          mencegah pembentukan struktur pasar yang dapat melahirkan persaingan yang tidak wajar dalam bentuk monopoli, oligopoli dan monopsoni yang merugikan Usaha Kecil;
-          mencegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh orang-perseorangan atau kelompok tertentu yang merugikan Usaha Kecil.
-          Penjelasan Pasal 8 ini adalah sebagai berikut:
-          Huruf a: Kerjasama  sesama Usaha Kecil dimaksudkan untuk meningkatkan posisi tawar dalam melakukan transaksi bisnis dengan pihak lainnya agar mempunyai posisi yang sepadan. Selain itu, kerja sama sesama Usaha Kecil akan meningkatkan pula skala ekonomi usahanya.
-          Huruf b: Yang dimaksud dengan mencegah adalah upaya berupa deregulasi, pengaturan tata niaga, penetapan harga, pengenaan sanksi, dan pembentukan komisi persaingan.Pengertian pencegahan mencakup penghapusan bentuk monopoli, oligopoli, dan monopsoni, yang merugikan Usaha Kecil, kecuali yang dikendalikan oleh negara demi kepentingan rakyat banyak.
-          Huruf c: Cukup jelas.

g.      Undang-Undang No. 32 tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi.

Pasal 5:
“Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan sehari-hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) (oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi), dilakukan dengan tujuan:
(a) mewujudkan kegiatan Perdagangan Berjangka yang teratur, wajar, efisien, dan efektif serta dalam suasana persaingan yang sehat;
(b)…”

Pasal 16:
“Bursa Berjangka bertugas:
(a) menyediakan fasilitas yang cukup untuk dapat terselenggaranya transaksi Kontrak Berjangka yang teratur, wajar, efisien, dan efektif;
(b) …”

Pasal 57:
Ayat 1: “Dalam perdagangan Kontrak Berjangka setiap Pihak dilarang melakukan atau berusaha melakukan manipulasi melalui tindakan:
(a)baik secara langsung maupun tidak langsung dalam waktu bersamaan menguasai sebagian besar persediaan Komoditi secara fisik dan Kontrak Berjangka dengan posisi beli;
(b)baik secara langsung maupun tidak langsung membeli atau menjual Kontrak Berjangka yang dapat menyebabkan seolah-olah terjadi perdagangan yang aktif atau mengakibatkan terciptanya informasi yang menyesatkan mengenai keadaan pasar atau harga Kontrak Berjangka di Bursa Berjangka;
(b)membuat, menyebarkan, dan/atau menyuruh orang lain membuat dan/atau menyebarluaskan pernyataan atau informasi yang tidak benar atau menyesatkan yang berkaitan dengan transaksi Kontrak Berjangka dengan maksud mengambil keuntungan dari timbulnya gejolak harga di Bursa Berjangka akibat tersebarluasnya pernyataan atau informasi tersebut.”

Ayat 2:
“Setiap pihak dilarang:
(a)melakukan transaksi Kontrak Berjangka yang telah diatur sebelumnya secara tidak wajar;
(b)menyelesaikan dua atau lebih amanat Nasabah yang berlawanan untuk Kontrak Berjangka yang sama di luar Bursa Berjangka;
(c)secara langsung atau tidak langsung menjadi lawan transaksi Nasabahnya, kecuali:
- amanat Nasabah telah ditawarkan di bursa Berjangka secara terbuka; dan
- transaksi yang terjadi dilaporkan, dicatat, dan dikliringkan dengan cara yang sama sebagaimana amanat lain yang ditransaksikan di Bursa Berjangka; atau
(d)secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi pihak lain untuk melakukan transaksi Kontrak Berjangka dengan cara membujuk atau memberi harapan keuntungan di luar kewajaran.”

Sedangkan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Komoditi juga menyinggung isyu-isyu yang berkaitang dengan persaingan usaha sbb.:

Pasal 10:
“Pemegang saham Bursa Berjangka dilarang mempunyai hubungan dengan pemegang saham lainnya pada Bursa Berjangka yang sama melalui:
(a)kepemilikan, baik langsung maupun tidak langsung;
(b)perangkapan jabatan sebagai anggota komisaris atau direksi; atau
(c)pengendalian di bidang pengelolaan dan/atau kebijaksanaan perusahaan baik langsung maupun tidak langsung.”

h.      Undang-Undang No. 10 tahun 1998 jo. Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.


Pasal 10:
“Bank Umum dilarang:
(a)melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dan huruf c;
(Pasal 7 huruf b: “melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian, dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.”, sedangkan huruf c-nya: melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia).
(b)melakukan usaha perasuransian;
(c)melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan 7.”

Pasal 11:
Ayat 1: “Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atu hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.”

Penjelasan Ayat 2 Pasal 16:
“Dalam hal memberikan izin usaha sebagai Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, Bank Indonesia selain memperhatikan pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, juga wajib memperhatikan tingkat persaingan yang sehat antara bank, tingkat kejenuhan, …”

Pasal 28:
Ayat 1: “Merger, konsolidasi, dan akuisisi wajib terlebih dahulu mendapatkan izin Pimpinan Bank Indonesia.”
Penjelasan Ayat 1 tersebut: “Dalam melakukan merger, konsolidasi, dan akuisisi, wajib dihindarkan timbulnya pemusatan kekuatan ekonomi pada suatu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat. Demikian pula dengan merger, konsolidasi, dan akuisisi yang dilakukan, tidak boleh merugikan kepentingan para nasabah.”

i.        Undang-Undang No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

Pasal 10 dari undang-undang ini menyatakan bahwa:
(1)   “Dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara penyelenggara telekomunikasi.”
(2)   “Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Penjelasan terhadap pasal tersebut adalah:
(1)   “Pasal ini dimaksudkan agar terjadi kompetisi yang sehat antar penyeleggara telekomunikasi dalam melakukan kegiatannya.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku dimaksud adalah Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta peraturan pelaksanaannya.”
(2)   “Cukup jelas.”

j.        Undang-Undang No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.

Pasal 17
Ayat 1: “Pengikatan dalam hubungan kerja jasa konstruksi dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat melalui pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum atau terbatas.”
Penjelasan:
“Pengikatan merupakan suatu proses yang ditempuh oleh pengguna jasa dan penyedia jasa pada kedudukan yang sejajar dalam mencapai suatu kesepakatan untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi. Dalam setiap tahapan proses ditetapkan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang adil dan serasi yang disertai dengan sanksi.
Prinsip persaingan yang sehat mengandung pengertian, antara lain:
(a) diakuinya kedudukan yang sejajar antara pengguna jasa dan penyedia jasa;
(b)terpenuhinya ketentuan atas keterbukaan dalam proses pemilihan dan penetapan;
(c)adanya peluang keikutsertaan dalam setiap tahapan persaingan yang sehat bagi penyedia jasa sesuai dengan kemampuan dan ketentuan yang dipersyaratkan;
(d)keseluruhan pengertian tentang prinsip persaingan yang sehat tersebut dalam huruf a, b, dan c dituangkan dalam dokumen yang jelas, lengkap, dan diketahui dengan baik oleh semua pihak serta bersifat mengikat.

Dengan pemilihan atas dasar persaingan pengguna jasa mendapatkan penyedia jasa yang andal dan mempunyai kemampuan untuk menghasilkan rencana konstruksi ataupun bangunan yang berkualitas sesuai dengan jangka waktu dan biaya yang ditetapkan. Di sisi lain merupakan upaya menciptakan iklim usaha yang mendukung tumbuh dan berkembangnya penyedia jasa yang semakin berkualitas dan mampu bersaing.
Pemilihan yang didasarkan atas persaingan yang sehat dilakukan secara umum, terbatas, ataupun langsung. Dalam pelelangan umum setiap penyedia jasa yang memenuhi kualifikasi yang diminta dapat mengikutinya.”

Ayat 3: “Dalam keadaan tertentu, penetapan penyedia jasa dapat dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau penunjukan langsung.”
Penjelasan:
“Keadaan tertentu antara lain meliputi:
(1)   penanganan darurat untuk keamanan dan keselamatan masyarakat;
(2)   pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan oleh penyedia jasa yang sangat terbatas atau hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak;
(3)   pekerjaan yang perlu dirahasiakan, yang menyangkut keamanan, dan keselamatan negara;
(4)   pekerjaan yang berskala kecil.”

Pasal 20:
“Pengguna jasa dilarang memberikan pekerjaan kepada penyedia jasa yang terafiliasi untuk mengerjakan satu pekerjaan konstruksi pada lokasi dan dalam kurun waktu yang sama tanpa melalui pelelangan umum atau pun pelelangan terbatas.”
Penjelasan:
“Yang dimaksud dengan “perusahaan terafiliasi” adalah perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki oleh satu perusahaan induk. Pemberian pekerjaan kepada penyedia jasa yang terafiliasi dengan pengguna jasa tersebut dapat dibenarkan apabila pemilihannya didasarkan pada proses pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.”







IV.             PERMASALAHAN TERKAIT UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT.


1.      Permasalahan persepsi posisi Hukum Persaingan Usaha dalam asas dan pembidangan hukum konvensional.

Permasalahan di atas, menurut hemat penulis adalah permasalahan yang paling krusial untuk diatasi baik oleh kalangan praktisi maupun jurist. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa jika terdapat kesalahan persepsi atas posisi Hukum Persaingan dalam asas dan pembidangan hukum konvesional terutama pada kalangan pelaksana hukum maka implikasi-nya dapat sangat beresiko bagi pencapaian penegakan keadilan yang menjadi tujuan seluruh produk hukum.

Untuk itu maka sebagaimana pemaparan di bagian pendahuluan di atas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Persaingan Usaha tidak berada pada ranah Hukum Perdata maupun Hukum Publik dalam perspektif pembagian hukum yang konvensional. Hukum Persaingan Usaha berdiri sendiri sebagai suatu bidang hukum termasuk hukum acaranya, namun jika pun ingin ”dipaksakan” untuk ditinjau dari perspektif pembagian hukum yang konvensional, maka menurut hematnya Hukum Persaingan Usaha menjadi ranah Hukum Publik.

Berangkat dari konsepsi di atas, ternyata hampir selama 10 tahun ini terdapat kesalahan persepsi posisi hukum persaingan usaha di dalam sistem hukum nasional yang berdampak pada aplikasi-nya di dalam hukum acara-nya. Dimana masih banyak kalangan jurist termasuk di kalangan Mahkamah Agung yang menganggap bahwa atau setidaknya memasukkan bidang Hukum Persaingan Usaha sebagai bagian dari Hukum Perdata sehingga Acara Hukum Persaingan Usaha juga pada akhirnya menginduk kepada Hukum Acara Perdata Nasional.

Bahwa memang di banyak kasus persaingan usaha terdapat unsur peristiwa hukum perdata di dalamnya seperti adanya perjanjian atau kesepakatan di antara para pelaku usaha yang bersaing namun sebenarnya jika dipahami maka hubungan perdata tersebut adalah bagian dari suatu persekongkolan jahat (seperti kartel) yang merugikan publik (konsumen dalam jumlah besar) atau pelaku usaha lain sehingga sebenarnya peristiwa perdata tersebut telah masuk ke ranah hukum pidana atau setidaknya suatu tindakan perdata yang merugikan pihak perdata lainnya.  Sementara jika terdapat suatu kasus seolah-olah perselisihan perdata di antara dua pelaku usaha, maka sebenarnya peristiwa perselisihan tersebut bukan didasarkan adanya hubungan keperdataan (dalam arti perjanjian atau kesepakatan) namun lebih kepada hubungan persaingan usaha yang jika pun tidak masuk ke dalam ranah hukum pidana maka maka masuk wilayah perbuatan melawan hukum (PMH).  Bahkan untuk beberapa tindakan persaingan tidak sehat seperti kartel (perjanjian atau kesepakatan di antara seluruh pesaing di pasar bersangkutan tertentu) yang dikarenakan unsur kejahatan (kerugian)-nya pada publik (konsumen dalam jumlah besar) sangat kuat maka kartel di beberapa negara dinyatakan sebagai tindak pidana.

Oleh karena itu penerapan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 3/2005 yang mencabut Perma No. 1/2003 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan atas Putusan KPPU sebagai upaya implementasi UU No. 5 /1999 dalam hukum acaranya yang menetapkan bahwa upaya hukum keberatan atas Putusan KPPU dikualifikasikan dalam Acara Perdata menjadi kurang tepat.

Idealnya, untuk tindakan-tindakan anti persaingan yang berdimensi kerugian publik seyogyanya digunakan hukum acara pidana atau hukum acara publik khusus seperti diterapkan di beberapa negara sementara untuk kasus-kasus anti-persaingan yang berdimensi perselisihan antar pelaku usaha atau berdimensi consumer class action maka musti dimungkinkan untuk dilakukan dalam forum peradilan perdata (civil action) tanpa melalui KPPU.


2.      Permasalahan terkait sistematika UU No. 5/1999
UU No. 5/1999 membagi praktek yang dilarang (tindakan anti persaingan) menjadi 3 (tiga) bagian atau bab, yaitu perjanjian yang dilarang (Bab III), kegiatan yang dilarang (Bab IV) dan (penyalahgunaan) posisi dominan (Bab V). Dalam bagian perjanjian yang dilarang, UU No.5/1999 memasukkan di dalamnya praktek perjanjian diskriminasi harga dan praktek perjanjian penetapan harga jual kembali di samping praktek penetapan harga antara pesaing, pembagian wilayah dan kartel. Sedangkan dalam bagian Kegiatan yang dilarang, UU No.5/1999 memasukkan di dalamnya praktek monopoli, monopsoni, penguasaan pasar melalui, salah satunya, praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu, jual rugi dan persekongkolan tender. Terakhir, dalam bagian Posisi Dominan, UU No.5/1999 memasukkan di dalamnya praktek jabatan rangkap, pemilikan saham, dan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan. Dari sistematika ini, ada beberapa ketentuan yang pada dasarnya mengatur hal yang sama tetapi diatur dalam beberapa pasal berbeda.   

Sistematika ini sedikit berbeda dengan sistematika yang umumnya dikenal dan diadopsi di negara lain ataupun standar hukum persaingan usaha, sebagaimana yang disusun oleh UNCTAD.[10] Sebagai contoh, UNCTAD Model Law on Competition (Model atau standar hukum persaingan yang disusun oleh UNCTAD) membagi praktek yang dilarang ke dalam 3 (tiga) bagian, yaitu perjanjian yang dilarang (bab III tentang perjanjian atau pengaturan yang menghambat), penyalahgunaan posisi dominan (bab IV tentang tindakan atau perilaku yang menunjukkan penyalahgunaan posisi doninan atas kekuatan pasar) dan pengendalian merger (bab VI tentang notifikasi, penyelidikan dan larangan merger yang mempengaruhi pasar yang sudah terkonsentrasi). Perjanjian yang dilarang umumnya mencakup praktek kartel atau perjanjian antar pesaing, pembagian wilayah, persekongkolan tender, dan kuota. Penyalahgunaan posisi dominan mencakup praktek diskriminasi, jual rugi dan praktek penetapan harga jual kembali. Sedangan pengendalian merger mencakup integrasi vertikal, praktek jabatan rangkap dan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan.
 
Pada dasarnya, setiap negara bebas untuk menetapkan ataupun mengatur hukum materiil maupun sistematikanya berdasarkan pertimbangan kebutuhan ataupun karakteristik dari negara yang bersangkutan. Meskipun demikian, tentu saja kebebasan tersebut harus tetap mengacu kepada prinsip ataupun asas umum yang berlaku, baik dari aspek ilmu hukum maupun ilmu ekonomi.[11] Dalam kaitannya dengan hukum persaingan usaha, asas atau prinsip yang berlaku dalam bidang ekonomi merupakan asas atau prinsip yang sangat penting dan tidak bisa dilepaskan ataupun dikesampingkan keberlakuannya. Hal ini karena hukum persaingan usaha pada dasarnya mengatur mengenai praktek atau kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya yang dianggap sebagai praktek monopolisasi atau praktek yang anti persaingan. Banyak konsep dan terminologi ilmu ekonomi yang seringkali digunakan dalam pembahasan mengenai hukum persaingan, misalnya stuktur pasar, hambatan masuk atau keluar pasar, harga, biaya, skala ekonomi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, penyusunan dan pengaturan termasuk sistematika dari hukum persaingan usaha seharusnya tetap memperhatikan dan sejalan dengan prinsip ataupun asas yang berlaku umum dalam ilmu ekonomi dan paktek umum yang berlaku di banyak negara yang telah menerapkan hukum persaingan usaha.[12]

Sebagai contoh, praktek diskriminasi dalam UU No. 5/1999 diatur dalam Pasal 6[13] (yang termasuk dalam Bab III tentang Perjanjian yang Dilarang) dan Pasal 19[14] (yang termasuk dalam Bab IV tentang Kegiatan yang Dilarang). Kedua pasal tersebut tidak menyebutkan mengenai adanya kepemilikan posisi dominan sebagai dasar untuk melarang praktek diskriminasi. Padahal, tanpa adanya kekuatan pasar atau posisi dominan, maka praktek diskriminasi tidak akan menyebabkan kerugian bagi kebanyakan konsumen atau membahayakan persaingan usaha ataupun menyebabkan praktek monopoli. Konsumen yang merasa dirugikan dengan praktek diskriminasi yang dilakukan oleh pelaku usaha yang tidak dominan dapat berpindah kepada pelaku usaha lain yang menyediakan produk substitusi yang pada akhirnya justru akan menghancurkan pelaku usaha yang melakukan praktek diskriminasi tersebut. Pengaturan atau penerapan pasal tentang larangan diskriminasi yang diadopsi dalam UNCTAD Model Law on Competition mengaitkannya dengan kepemilikan posisi dominan. UNCTAD Model Law on Competition mengatur mengenai praktek diskriminasi dalam bab IV tentang tindakan atau perilaku yang menunjukkan penyalahgunaan posisi dominan atas kekuatan pasar. Praktek penerapan harga yang berbeda untuk penjualan yang berbeda syarat dan kondisinya tidak bertentangan dengan prinsip atau asas ilmu ekonomi. Justru pemberian harga yang sama untuk semua penjualan tanpa membedakan syarat dan kondisi penjualannya (tanpa alasan yang wajar dan dapat diterima) merupakan praktek yang mengarah kepada praktek persaingan usaha yang tidak sehat. [15] Atau, pembedaan harga untuk transaksi yang sama tanpa alasan yang wajar dan proporsional juga merupakan tindakan atau praktek diskriminasi yang mengarah kepada praktek persaingan usaha yang tidak sehat.[16]

Tambahan lagi, dengan sistematika UU No. 5 / 1999 yang ada maka untuk setiap perjanjian yang melatar-belakangi suatu tindakan anti persaingan sehat belum tentu dapat dibatalkan karena tindakan anti-persaingannya terkait tidak termasuk di dalam Bab tentang Perjanjian yang Dilarang. Hal ini tentunya menjadi kendala dalam penghentian suatu tindakan anti-persaingan usaha yang sehat yang diakibatkan oleh suatu perjanjian yang anti-persaingan usaha yang sehat. Memang dalam satu kasusnya KPPU[17], untuk menghentikan tindakan monopolisasi (monopoli) yang dilatarbelakangi oleh suatu perjanjian, maka KPPU tidak dapat membatalkan perjanjiannya karena monopoli tidak berada pada Bab Perjanjian yang Dilarang untuk itu KPPU menyatakan perjanjian terkait batal demi hukum karena tindakan (monopolisasi)-nya dinyatakan melanggar hukum.

Dari paparan di atas, kiranya ada dua alternatif untuk mengatasi permasalahan terkait sistematika UU No. 5/1999. Pertama, melakukan perbaikan terhadap susunan atau sistematika UU No. 5/1999 melalui amandemen atau perubahan atas UU No. 5/1999. Namun cara ini tentu saja membutuhkan waktu, biaya dan kesepakatan para pemangku kepentingan, khususnya para pembuat undang-undang. Alternatif kedua adalah melalui penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada di dalam UU No. 5/1999, yang tidak mendasarkan pada satu metode penafsiran saja tetapi dengan mengkombinasikan beberapa metode penafsiran hukum, sehingga diperoleh hasil penafsiran yang sejalan dengan maksud dan tujuan dibentuknya UU No. 5/1999.[18] Meskipun demikian, pemahaman dan penerapan ketentuan yang ada di dalam UU No. 5/1999 melalui penafsiran hukum tidak juga dapat dipandang mudah dan sederhana. 


3.      Permasalahan terkait penafsiran terhadap beberapa konsep atau terminologi yang tercantum di dalam UU No. 5/1999

Permasalahan yang kedua terkait dengan implementasi UU No. 5/1999 adalah permasalahan yang berhubungan dengan penafsiran terhadap ketentuan atau pasal-pasal yang tercantum dalam UU No. 5/1999. UU No. 5/1999 menggunakan beberapa terminologi atau konsep yang sebelumya belum dikenal ataupun yang sudah dikenal dalam sistem hukum di Indonesia tetapi tidak memberikan penjelasan atau definisi yang jelas. Hal ini tentu saja menyulitkan bagi penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal yang terkait dengan konsep atau definisi tersebut. Dua contoh konkrit yang terkait dengan permasalahan ini adalah penafsiran ketentuan mengenai “kelompok pelaku usaha”, “saham mayoritas” dan “persekongkolan dengan pihak lain”.

UU No. 5/1999 mengenal dan menggunakan dua konsep yang cukup penting terkait penerapan hukum persaingan usaha di Indonesia. Konsep pertama adalah terkait dengan konsep “kelompok pelaku usaha”. UU No. 5/1999 tidak memberikan definisi atau penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan kelompok pelaku usaha dan apa batasannya. Padahal, pendefinisian ini penting karena konsep kelompok pelaku usaha digunakan sejajar dengan konsep pelaku usaha. Sebagai contoh, Pasal 25 ayat (2) pada pokoknya mengatur mengenai pelaku usaha yang (dianggap) memiliki posisi dominan, yaitu sebagai satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar, atau, dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa pasar. Dengan rumusan tersebut, UU No. 5/1999 menilai satu kelompok pelaku usaha sama dengan satu pelaku usaha. Padahal kelompok pelaku usaha mengandung arti lebih dari satu pelaku usaha yang bekerja sama dan membentuk satu kelompok. Lalu, bagaimana perbedaannya dengan kerja sama antara pelaku usaha yang dimaksud dan dilarang dalam Pasal 5 UU No. 5/1999. Dalam rangka memperjelas dan memberi kepastian hukum, KPPU telah melakukan pendefinisian terkait konsep “kelompok pelaku usaha” dalam Putusannya Nomor 07/KPPU-L/2007. Dalam Putusan tersebut, KPPU menyatakan antara lain: [19]

-            ...., istilah “kelompok pelaku usaha” dikenal meskipun tidak dijelaskan oleh UU No 5 Tahun 1999. Istilah “kelompok pelaku usaha” terdapat dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (2), Pasal 13 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 25 ayat (2), dan Pasal 27 UU No 5 Tahun 1999
-              Hukum perusahaan mengenal dua subjek hukum yaitu “orang” atau “natural person dan “badan hukum” atau “legal person”. Istilah yang terakhir biasa digunakan terhadap perseroan terbatas yang dianggap sebagai suatu subjek hukum yang mandiri dan memilki legal personality berdasarkan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Dalam hukum persaingan usaha, pendekatan ini tidak selalu berlaku karena hukum persaingan usaha menggunakan pendekatan fungsional dalam melihat subjeknya. Pendekatan seperti ini juga terlihat jelas dalam bidang akutansi, dimana sesuai dengan Pedoman Standar Akutansi Keuangan (PSAK) dan Generally Accepted Accounting Principle (GAAP), sebuah perusahaan (anak perusahaan) yang sahamnya lebih dari 50% dimiliki oleh perusahaan lain (induk perusahaan), laporan keuangan dari anak perusahaan tersebut akan dikonsolidasikan terhadap laporan keuangan dari induk perusahaan, karena dari sisi ekonomi, kedua perusahaan tersebut pada hakikatnya adalah satu entitas
-            Bahwa dalam hukum persaingan, pandangan seperti itu dikenal dalam doktrin entitas ekonomi tunggal yang telah diakui keberadaannya di yurisdiksi lain. Majelis Komisi menilai pandangan seperti itu memiliki dasar dan argumen yang kuat sehingga dapat juga diterapkan dalam sistem hukum persaingan di Indonesia. Majelis Komisi menilai doktrin tersebut dapat diterapkan untuk menjelaskan apa yang disebut dalam UU No 5 Tahun 1999 sebagai “kelompok pelaku usaha”;

Konsep yang kedua terkait dengan konsep saham mayoritas. Konsep ini tercantum dalam Pasal 27 UU No. 5/1999 yang pada pokoknya mengatur tentang larangan kepemilikan saham mayoritas di beberapa perusahaan sejenis atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama di pasar bersangkutan yang sama, apabila memenuhi kondisi tertentu. UU No. 5/1999 sekali lagi tidak menjelaskan mengenai definisi atau batasan dari “saham mayoritas”. Dalam Putusan yang sama, KPPU berpendapat sebagai berikut: [20]

-          Pasal 27 UU No 5 Tahun 1999 tidak menjelaskan jenis saham yang dimaksud dalam terminolgi “saham mayoritas”. Oleh karena itu pengertian saham mayoritas pada Pasal 27 UU No 5 Tahun 1999 memerlukan penafsiran lebih lanjut.
-          Majelis Komisi berpendapat bahwa pemaknaan ‘saham mayoritas’ secara harfiah sebagaimana dikemukakan oleh STT, STTC, AMHC akan menegasikan atau menghilangkan makna Pasal 27, karena pelaku usaha akan selalu dapat mensiasatinya atau menghindarinya. Upaya untuk menghindari tersebut dapat dilakukan secara sederhana, misalnya, memiliki secara mayoritas di satu perusahaan akan tetapi mempertahankan agar jumlah kepemilikan saham di perusahaan pesaing lainnya tetap berada sedikit di bawah batas jumlah mayoritas, meskipun de facto dapat mengendalikan atau mempengaruhi putusan manajemen perusahaan. Seorang pelaku usaha dapat mengatur tingkat persaingan dua perusahaan yang dimilikinya meskipun kepemilikannya tidak mayoritas secara absolute di kedua perusahaan tersebut. Oleh karena itu untuk efektifnya ketentuan Pasal 27 maka kata ‘saham mayoritas’ dalam pasal tersebut lebih tepat dimaknai secara hakekat. Pada hakekatnya Pasal 27 melarang pelaku usaha untuk mengendalikan beberapa perusahaan yang bersaing dalam sebuah pasar. Pengendalian tersebut dapat dilakukan melalui pemilikan saham secara mayoritas di kedua perusahaan. Apabila hal ini terjadi maka secara de jure dianggap telah terjadi pengendalian. Pengendalian dua perusahaan juga dapat dilakukan melalui kepemilikan saham signifikan di dua perusahaan akan tetapi secara de facto mampu mengendalikan keputusan manajemen perusahaan
-          Berdasarkan seluruh uraian di atas maka pengertian ”saham mayoritas” yang paling tepat untuk Pasal 27 UU No 5 Tahun 1995 adalah adanya kendali yang dimiliki oleh satu pelaku usaha terhadap pelaku usaha lain;

Konsep yang ketiga adalah terkait dengan konsep “bersekongkolan dengan pihak lain” dalam suatu peristiwa tender. Pasal 22 UU No. 5 / 1999 menyatakan bahwa “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

Jika tidak dapat dikatakan pada seluruh perkara maka pada sebagian besar perkara dugaan persekongkolan tender; KPPU menerapkan jangkauan pengertian konsep “bersekongkol dengan pihak lain” melingkupi tidak hanya persekongkolan horizontal antar para peserta tender (satu peserta tender dengan peserta tender lain) namun juga persekongkolan vertikal antara peserta atau beberapa peserta tender dengan owner atau setidaknya dengan panitia tender yang dibentuk dalam organisasi owner. Hal ini agak berlebihan mengingat best practices pada hakekatnya tindakan persekongkolan tender (bid rigging) dalam perspektif persaingan usaha adalah suatu tindakan persekongkolan horizontal dari suatu kartel para pelaku usaha peserta tender (bidders) untuk menghilangkan persaingan di antara mereka sehingga mengatur pemenang dalam suatu tender sehingga mengakibatkan adanya kerugian bagi pemilik barang atau pekerjaan jasa (owner). 

Di sisi lain, pada kondisi yang wajar, tidak ada logika ekonominya jika owner yang memiliki kepentingan terhadap terciptanya persaingan yang sehat demi optimalisasi keuntungan ekonomisnya; terlibat persekongkolan tender (persekongkolan vertikal); karena hal itu artinya tindakan merugikan diri-nya sendiri. Hal ini menjadi wajar atau logis apabila ditinjau dari perspektif hukum korupsi atau penyalahgunaan wewenang bukan dari perspektif hukum persaingan usaha. Dimana oknum dari organisasi owner atau di kepanitiaan tender dalam organasisi owner melakukan tindakan mengatur persaingan thus pemenang dalam tender demi mendapatkan keuntungan dari pemenang tender demi kepentingan pribadinya yang dikategorikan sebagai tindakan korupsi atau penyalahgunaan jabatan.

Dengan penafsiran yang berlebihan (eksesif) di atas, dapat dikatakan bahwa KPPU telah memasuki ranah kewenanganan pemberantasan korupsi atau hukum korupsi di dalam penanganan perkara-perkara dugaan persekongkolan tender-nya.  Hal tersebut bisa-bisa saja dimiliki oleh KPPU sebagai sebuah otoritas persaingan karena bagaimanapun persekongkolan vertikal dalam suatu tender juga mengakibatkan rusaknya level of competitive playing field, sebagaimana dipraktekan di Jepang. Namun dengan adanya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang khusus menangani korupsi termasuk aspek korupsi di dalam suatu persekongkolan tender; apakah kewenangan ini tidak akan menjadi tumpang tindih yang berpotensi untuk terjadi saling fait a comply di antara kedua komisi negara tersebut?

Ketiga konsep atau terminologi tersebut merupakan contoh praktek penemuan dan penafsiran hukum yang dilakukan oleh KPPU dalam rangka pelaksanaan pengawasan dan penegakan UU No. 5/1999. Tentu saja masih ada beberapa konsep atau istilah lain yang juga masih perlu dinilai kembali kejelasan dan kelengkapan pengertiannya agar penegakan dan penerapan hukum persaingan usaha atau setidaknya UU No. 5/1999 memiliki landasan yang kuat dan dapat diterapkan secara konsisten. [21] Yang terpenting dari proses penemuan hukum ini adalah bahwa penafsiran yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang berwenang harus selalu berlandaskan pada landasan teori dan praktek yang umum (best practices) sehingga dapat dipertanggungjawabkan, diuji keabsahannya dan dijaga konsistensinya.


4.      Permasalahan terkait penerapan ketentuan atau pasal-pasal yang tercantum di dalam UU No. 5/1999

Selain permasalahan yang terkait dengan sistematika atau perumusan ketentuan dan konsep atau terminologi yang digunakan dalam UU No. 5/1999, ada permasalahan lain lagi, yaitu yang terkait dengan penerapan pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan yang ada  di dalamnya. UU No. 5/1999 setidaknya merumuskan 28 praktek usaha yang dilarang, baik dalam bentuk perjanjian, kegiatan maupun bentuk-bentuk lainnya. Banyaknya rumusan ketentuan yang diatur dalam UU No. 5/1999 yang beberapa diantaranya mengatur hal yang pada dasarnya sama menimbulkan permasalahan dalam penerapannya. Permasalahan yang terkait dengan penerapan ketentuan dalam UU No. 5/1999 misalnya yang terkait dengan Pasal 7 UU No. 5/1999 yang mengatur mengenai larangan pelaku usaha untuk membuat perjanjian dengan pesaing untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pada dasarnya setiap pelaku usaha bebas untuk menetapkan harga jual produknya, termasuk apabila harga yang ditetapkan berada di bawah harga pasar. Penetapan harga jual di bawah harga pasar baru akan dilarang apabila harga tersebut di bawah biaya produksinya, atau biasa dikenal dengan praktek jual rugi (predatory pricing) dan ditujukan untuk menyingkirkan pesaing. Praktek tersebut umumnya dilarang apabila dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki posisi dominan.[22]. Lalu, dalam hal apa atau bagaimana Pasal 7 UU No. 5/1999 dapat diterapkan? Ada yang berpendapat bahwa Pasal 7 UU No. 5/1999 tidak dapat diterapkan karena tidak memiliki landasan teori yang kuat dan tidak sejalan dengan praktek yang berlaku umum (best practices). Namun, ada pula yang berpendapat bahwa Pasal 7 dapat diterapkan apabila dikaitkan dengan praktek pemboikotan bersama (group boycott) atau penetapan harga antar pelaku usaha yang bersaing yang bertujuan, misalnya, untuk menyingkirkan pesaing tertentu (pelaku usaha baru). Selain Pasal 7, masih ada beberapa pasal lain dalam UU No. 5/1999 yang tidak dapat diterapkan atau memerlukan penafsiran hukum agar memiliki landasan teori yang kuat dan sejalan dengan maksud dan tujuan dari UU No. 5/1999 dan praktek yang berlaku umum (best practices). Dalam rangka itu pula, KPPU telah menerbitkan beberapa peraturan KPPU yang berisi pedoman penerapan pasal-pasal atau ketentuan yang tercantum dalam UU No. 5/1999.[23] Pedoman tersebut tentu saja masih harus diuji efektifitas dan konsistensinya dengan teori yang berlaku umum dan digunakan dalam pengaturan hukum persaingan usaha.



Secara singkat, permasalahan yang terkait dengan kewenangan KPPU, hukum acara dan upaya hukum adalah UU No. 5/1999 tidak mengatur secara lengkap dan jelas mengenai tata cara penanganan dan upaya hukum yang dapat diambil oleh para pihak yang diperiksa. UU No. 5/1999 mengatur mengenai sanksi administratif dan sanksi pidana atas pelanggaran terhadap UU No. 5/1999 tetapi Undang-Undang ini tidak secara jelas mengatur bagaimana penegakan UU No. 5/1999 yang dilakukan melalui pemeriksaan di KPPU dan peradilan perdata dapat berjalan harmonis dengan pemeriksaan di kepolisian dan peradilan pidana. Khusus mengenai kewenangan KPPU, UU No. 5/1999 tidak memberikan kewenangan kepada KPPU untuk melakukan penggeledahan atau penyitaan atas dokumen yang dipandang penting dalam pemeriksaan suatu perkara dugaan pelanggaran terhadap UU No. 5/1999. Hal ini bisa dipahami karena UU No. 5/1999 hanya memberikan kewenangan kepada KPPU untuk melakukan penyelidikan dan bukan penyidikan. Permasalahan ini bisa diatasi misalnya melalui kerja sama antara KPPU dan pihak kepolisian sebagai penyidik yang berwenang untuk melakukan upaya paksa termasuk penggeledahan dan penyitaan. Namun demikian, Pasal 36 UU No. 5/1999 seolah-olah hanya memberikan wewenang kepada KPPU untuk meminta bantuan penyidik hanya dalam hal untuk menghadirkan pihak-pihak yang tidak bersedia memenuhi panggilan KPPU, sedangkan dalam hal pelaku usaha menolak untuk diperiksa atau memberikan informasi atau menghambat penyelidikan atau pemeriksaan, KPPU hanya berhak untuk menyerahkan perkara tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan. Oleh karena itu, perlu dicari terobosan agar penegakan hukum administratif dan pidana dapat berjalan harmonis. Terkait dengan ketidakjelasan dalam hukum acara yang tercantum di dalam UU No. 5/1999, KPPU telah mengatur sendiri hukum acara yang berlaku dalam penanganan perkara di KPPU dan menentukan model pemeriksaan yang akan digunakan. Meskipun demikian, KPPU tetap harus memperhatikan prinsip due process of law dalam setiap tahap pemeriksaan di KPPU. Dalam rangka itu, KPPU saat ini sedang menyusun sebuah rancangan peraturan KPPU yang akan menggantikan Peraturan KPPU No. 1 tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU. Dalam rancangan peraturan yang baru ini banyak perubahan yang rencananya akan dilakukan oleh KPPU, termasuk perubahan yang terkait dengan hak-hak Terlapor dan Pelapor serta sistem atau model pemeriksaan yang akan diberlakukan di KPPU.

Selain hukum acara, permasalahan lain yang juga penting adalah mengenai upaya hukum. UU No. 5/1999 hanya mengatur mengenai upaya hukum keberatan ke pengadilan negeri atas Putusan KPPU dan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan pengadilan negeri. Sedangkan upaya hukum Peninjauan Kembali tidak diatur dalam UU No. 5/1999 tetapi para pihak yang berkepentingan atau pelaku usaha Terlapor telah beberapa kali mengajukan upaya hukum luar biasa ini dan atas permohonan tersebut, Mahkamah Agung menerimanya. Perubahan apapun yang akan dilakukan dalam rangka mengatasi permasalahan terkait kewenangan, hukum acara dan upaya hukum yang berlaku, selayaknya tetap harus didasarkan pada pertimbangan penghormatan atas prinsip due process of law, berkeadilan, obyektif dan proporsional serta sejalan dengan prinsip dan sistem peradilan yang berlaku di Indonesia



V.                Penanganan Perkara Persaingan Usaha di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (UU No. 5 / 1999 dan Perkom No. 1 / 2010)


Prosedur untuk menangani kasus persaingan usaha pada umumnya diatur dalam Pasal 38 melalui Pasal 46 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun untuk tujuan pelaksanaan teknis, KPPU menetapkan Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Kasus sebagai pengganti Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Kasus di KPPU.

Terdapat beberapa prinsip yang dipertimbangkan oleh KPPU didalam Penanganan Prosedur Penanganan Laporan dan Perkara antara lain:

1.      Legalitas.
      Bahwa setiap penetapan dan pelaksanaan suatu prosedur harus disandarkan pada prinsip legalitas, artinya bahwa setiap prosedur pasti memiliki atau didasarkan pada landasan hukum tertentu berupa produk peraturan perundang-undangan yang telah berlaku efektif dan pelaksanaannya sesuai dengan landasan hukum tersebut.

2.      Prudential.
      Bahwa pelaksanaan setiap prosedur didasarkan pada prinsip kehati-hatian mengingat masalah persaingan usaha sangat sensitif terhadap kelangsungan usaha pelaku usaha tertentu.

3.      Presumption of innocent.
      Bahwa dalam pelaksanaan prosedur terutama yang terkait dengan pengawasan dan pemeriksaan pelaku usaha yang dituduh melanggar UU No. 5 / 1999 maka perlu dijunjung tinggi prinsip bahwa setiap tertuduh dinggap tidak bersalah hingga ditemukan bukti-bukti yang kuat atas kesalahannya.

4.      Due process.
      Bahwa dalam pelaksanaan prosedur terutama yang terkait dengan pemeriksaan pelaku usaha yang dituduh melanggar UU No. 5 / 1999, akan disediakan kesempatan yang layak bagi pelaku usaha bersangkutan untuk dapat membela diri.

5.      Transparan.
      Bahwa setiap pelaksanaan prosedur akan diterapkan prinsip transparansi yang layak dan dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan demi menjaga obyektifitas dan memberi kesempatan untuk terjadinya kontrol sosial.

6.      Confidentiality.
      Bahwa untuk pelaksanaan prosedur yang di dalamnya terdapat atau terlibat adanya informasi atau dokumentasi yang sangat sensitif untuk diketahui umum karena terkait dengan rahasia perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan maka akan ada upaya yang maksimal untuk dilakukan penjaminan atas kerahasian informasi dan dokumentasi tersebut.

7.      Non-diskriminatif.
      Bahwa penetapan dan pelaksanaan prosedur akan dihindarkan adanya diskriminasi baik berdasarkan suku, agama, maupun ras maupun hal-hal lain yang dapat menjadi pembeda yang irrasional di antara pelaku usaha.

8.      Efisien dan murah.
      Bahwa setiap prosedur akan dilaksanakan dengan cara yang se-efisien mungkin dan melibatkan biaya semurah mungkin.

Sesuai dengan Undang-Undang No. 5 /1999 dan peraturan pelaksanaannya khususnya Perkom No. 1 /2010, terdapat beberapa prosedur yang perlu diketahui dan dipahami oleh publik:

A.    Jenis Perkara

Pada dasarnya terbagi 2:
1.         Perkara Laporan, terbagi 2:
a.       Tanpa ganti rugi; dan
b.      Dengan ganti rugi

2.         Perkara Inisiatif

Tahapan atas Penanganan Kasus Laporan Pelapor dan Laporan Pelapor dengan Permohonan Ganti Rugi pada dasarnya sama. Perbedaan utama antara keduanya ialah:

  1. Alur penanganan perkara pada kasus Laporan Pelapor jauh lebih banyak dibandingkan dengan kasus Laporan Pelapor dengan Permohonan Ganti Rugi sebagaimana alan diuraikan dibawah;
  2. Laporan Pelapor dengan Permohonan Ganti Rugi, selain harus memenuhi syarat-syarat pengajuan, juga wajib menyertakan nilai dan bukti kerugian yang dideritanya.
  3. Dalam Perkara Laporan Pelapor dengan Ganti Rugi yang membacakan Laporan Dugaan Pelanggaran adalah Pelapor sendiri, sedangkan dalam perkara Laporan Pelapor biasa adalah investigator KPPU.


Penanganan perkara berdasarkan Laporan Pelapor, baik dengan atau tanpa ganti rugi pada dasarnya terdiri atas:
 
1. Laporan;
2.  Klarifikasi;
3.  Penyelidikan
4.  Pemberkasan;
5.  Sidang Majelis Komisi; dan
6. Putusan Komisi.

Penanganan perkara berdasarkan Laporan Pelapor dengan Permohonan Ganti Rugi tidak mengenal Tahap Penyelidikan dan Tahap Pemberkasan. Jadi dari Tahap Klarifikasi langsung  ke Tahap Sidang Majelis Komisi dan seterusnya.

Sementara penanganan perkara berdasarkan Inisiatif Komisi adalah terdiri dari tahap-tahap berikut:

1.   Kajian;
2.   Penelitian;
3.   Pengawasan Pelaku Usaha;
4.   Penyelidikan;
5.   Pemberkasan;
6.   Sidang Majelis Komisi; dan
7.   Putusan Komisi.

B.  Tahapan Penanganan Perkara

1.   Laporan
1.1.      Laporan
Setiap orang yang mengetahui pelanggaran telah terjadi atau patut diduga telah terjadi dapat melaporkan ke KPPU. Laporan harus ditujukan kepada Ketua KPPU secara tertulis dengan baik dan benar bahasa Indonesia dan sesuai dengan ketentuan sebagai berikut:

a.   melampirkan identitas lengkap dari Pelapor, Terlapor dan Saksi;
b.   menjelaskan dengan jelas, lengkap dan seakurat mungkin tentang pelanggaran telah terjadi atau patut diduga telah terjadi;
c.   menyerahkan bukti-bukti dugaan pelanggaran;
d.   menyerahkan salinan identitas Pelapor; dan
e.   menandatangani Laporan.
 
Perlu diperhatikan untuk Laporan Pelapor dengan Permohonan Ganti Rugi, selain harus sesuai dengan ketentuan di atas, Pelapor juga harus menyertakan nilai dan bukti-bukti bahwa kerugian telah diderita oleh Pelapor.
 
Laporan juga dapat ditujukan kepada Perwakilan KPPU yang berkedudukan di Surabaya, Makassar, Medan, Batam, atau Balikpapan selain kantor pusat di Jakarta. Identitas Pelapor akan dirahasiakan oleh KPPU dan Laporan tidak dapat ditarik kembali oleh Pelapor.

1.2.   Klarifikasi
Laporan akan dijelaskan oleh Unit Kerja yang menangani Laporan. Tujuan laporan klarifikasi adalah sebagai berikut:

a.   memeriksa kelengkapan administrasi laporan;
b.   memeriksa kebenaran lokasi alamat Pelapor;
c.   memeriksa kebenaran identitas Terlapor;
d.   memeriksa kebenaran alamat Saksi;
e.   memeriksa kesesuaian dugaan pelanggaran Undang-Undang dengan pasal yang dilanggar dengan alat bukti yang diserahkan oleh Pelapor; dan
f.    menilai kompetensi absolut terhadap laporan.

Hasil Klarifikasi yang dibuat oleh Unit Pekerja yang menangani Klarifikasi berisi:
 
a.   menyatakan laporan merupakan kompetensi absolut KPPU;
b.   menyatakan laporan lengkap secara administrasi;
c.   menyatakan secara jelas dugaan pelanggaran Undang-Undang dengan pasal yang dilanggar; dan
d. menghentikan proses penanganan laporan atau merekomendasikan kepada atasan langsung untuk dilakukan Penyelidikan.

Hasil Klarifikasi akan digunakan sebagai bukti awal untuk tahap Penyelidikan. Pimpinan Sekretariat akan menginformasikan Pelapor mengenai Hasil Klarifikasi.

Klarifikasi Hasil berdasarkan Laporan Pelapor dengan Permohonan Ganti Rugi akan dilaporkan oleh Unit Kerja yang menangani Laporan kepada Komisi untuk mendapatkan persetujuan menjadi Laporan Dugaan Pelanggaran dalam tahap Pemeriksaan Pendahuluan.

Unit Kerja yang menangani laporan akan memberitahukan dan mengembalikan Laporan kepada Pelapor tidak lebih dari 10 (sepuluh) hari sejak Laporan telah diterima, jika Laporan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana disebutkan di atas. Dalam hal ini Pelapor memiliki waktu 10 (sepuluh) hari sejak Laporan telah dikembalikan untuk melengkapi Laporan sesuai dengan ketentuan. Jika jangka waktu terlampaui Laporan dinyatakan tidak lengkap dan penanganan kasus akan dihentikan. Akan tetapi hal tersebut tidak menutup Pelapor untuk mengajukan Laporan baru apabila ditemukan bukti baru yang lengkap.

Apabila semua berjalan lancar maka setelah tahap Klarifikasi, untuk Laporan tanpa Ganti Rugi maka akan masuk ke Tahap Penyelidikan, Pemberkasan, Sidang Majelis Komisi, kemudian Putusan Komisi; sedangkan untuk laporan dengan Ganti Rugi setelah tahap ini maka akan langsung menuju Tahap Sidang Majelis Komisi dan kemudian Putusan Komisi.
Namun berhubung Tahap Penyelidikan, Pemberkasan, Sidang Majelis Komisi, kemudian Putusan Komisi baik untuk Perkara Laporan maupun Perkara Inisiatif memakai prosedur yang sama, ada baiknya kita uraikan tahap-tahap Perkara Inisiatif sebelum masuk ke dalam Tahap Pemberkasan.
 
2. Inisiatif
KPPU dapat mengambil kasus tanpa Pelapor jika hanya memiliki data dan informasi sebagai berikut:

a. Hasil Kajian;
b. Berita di media;                 
c. Hasil Pengawasan;
d. Laporan yang tidak lengkap;
e. Hasil Dengar Pendapat yang dilakukan Komisi;
f. Temuan dalam Pemeriksaan; atau
g. Sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan.

2.1. Kajian

Komisi mempelajari sektor industri yang memenuhi kriteria minimal sebagai berikut

a. industri yang menguasai hajat hidup orang banyak;
b. industri strategis, yang penting bagi negara;
c. industri dengan tingkat konsentrasi tinggi; dan/atau
d. industri unggulan nasional ataupun daerah.

KPPU memilih dan menetapkan daftar industri yang akan dipelajari berdasarkan rekomendasi dari Unit Kerja yang menangani Kajian. Sementara studi sektor industri Studi yang dilakukan oleh Tim Kajian yang ditetapkan oleh Ketua KPPU.

Studi sektor industri sekurang-kurangnya meliputi kegiatan sebagai berikut:

a. mengumpulkan data dan informasi dengan tahapan:
1. melakukan studi literatur;
2. mengundang pemangku kepentingan;
3. melakukan Penelitian lapangan; dan/atau
4. melakukan focus group discussion (FGD).
b. melakukan pengolahan data dan informasi yang diperoleh
c. melakukan analisa industri dan kebijakan;
d.         mengidentifikasi potensi dan dugaan pelanggaran undangundang; dan
e. menyusun hasil Kajian.

Tim Kajian menyerahkan Laporan Hasil Kajian yang berisi struktur industri, kinerja industri, kebijakan industri, potensi dan dugaan pelanggaran, dan rekomendasi ke KPPU. Rekomendasi yang merupakan salah satu isi dari Laporan Hasil Kajian sekurang-kurangnya memuat saran dan pertimbangan kepada Pemerintah untuk mengeluarkan atau mengubah kebijakan dan/atau melanjutkan penanganan kasus ke Tahap Penyelidikan. Laporan Hasil Kajian dapat melanjutkan ke Tahap Penyelidikan jika ada dugaan pelanggaran Undang-undang dan/atau terdapat dugaan pasar menurun, kinerja industri konsumen atau potensi kerugian. Keputusan untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dan/atau melanjutkan penanganan kasus ke tahap pemeriksaan dilakukan oleh Komisi.

2.2. Penelitian
 
Unit Kerja yang menangani pemantauan dari penelitian pelaku usaha pelaku usaha untuk mendapatkan bukti permulaan. Penelitian setidaknya termasuk bentuk pengumpulan data pelaku usaha, pemerintah dan/atau pihak lain, melakukan survei pasar, melakukan survei lokasi, dan menerima salinan surat-surat dan/atau informasi yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran Undang-undang.
.
Unit Kerja yang menangani pemantauan terhadap pelaku usaha akan disiapkan dan melaporkan Laporan Hasil Penelitian di KPPU Majelis / Rapat Koordinasi. Laporan Hasil Penelitian sekurang-kurangnya memuat:
 
a. identitas Pelaku Usaha;
b. struktur pasar;
c. potensi atau dugaan perilaku yang melanggar Undang-Undang;
d.         potensi atau dugaan kinerja industri atau pasar yang menurun;
e. rekomendasi dilanjukan atau tidak ke tahap Pengawasan atau Penyelidikan.

Komisi menetapkan tindaklanjut Pengawasan terhadap Pelaku Usaha berdasarkan Laporan Hasil Penelitian apabila:

a.  1 (satu) Pelaku Usaha atau satu kelompok Pelaku Usaha memiliki pangsa pasar lebih dari 50% (lima puluh persen);
b. 2 atau 3 Pelaku Usaha atau kelompok Pelaku Usaha memiliki pangsa pasar lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen); dan/atau
c. berpotensi melakukan pelanggaran Undang-Undang.

KPPU akan menentukan untuk melanjutkan ke tahap pemeriksaan jika ada dugaan perilaku melanggar undang-undang dan/atau dugaan menurunnya kinerja pasar atau industri. Jika perlu, KPPU dapat melaksanakan dengar pendapat dengan pelaku usaha berdasarkan Laporan Hasil Penelitian atas rekomendasi dari Unit Kerja yang menangani pemantauan pelaku usaha.
 
Hanya Penetapan untuk melakukan Pengawasan terhadap pelaku usaha, sebagai tindak lanjut dari Laporan Hasil Penelitian, akan dimasukkan ke dalam buku Daftar Pelaku Usaha Dalam Pengawasan. Penetapan untuk Pengawasan pelaku usaha atau Penyelidikan akan diberitahukan kepada pelaku usaha.
 
Unit Kerja yang menangani Penelitian pelaku usaha melakukan Penelitian dalam periode yang diperlukan. Penelitian akan berakhir ketika KPPU menentukan untuk melanjutkan Penelitian pelaku usaha ke tahap Pengawasan atau Penyelidikan.

2.3. Pengawasan pelaku usaha

KPPU melakukan Pengawasan bagi pelaku usaha yang dimasukkan ke dalam buku Daftar Pelaku Usaha Dalam Pengawasan. Pengawasan sekurang-kurangnya meliputi kegiatan sebagai berikut:
 
a. monitoring harga dan pasokan;
b. wawancara;
c. pertemuan dengan Pelaku Usaha yang bersangkutan;
d.         laporan berkala dari Pelaku Usaha setiap 6 (enam) bulan;
e. meminta informasi dari Pelaku Usaha pesaing; dan/atau
f.  meminta keterangan dari Pemerintah.

Pertemuan dengan pelaku usaha untuk mengevaluasi  hasil data dan informasi  hasil Pengawasan dilakukan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali setiap 6 (enam) bulan. Pertemuan dengan pelaku usaha tersebut dihadiri oleh sekurang-kurangnya 1 (satu) anggota Komisi yang ditugaskan oleh Ketua Komisi.
 
Unit Kerja yang menangani pemantauan pelaku usaha membuat Laporan Pelaksanaan Pengawasan disampaikan kepada Komisi dalam Rapat Komisi. Laporan Pelaksanaan  Pengawasan sekurang-kurangnya memuat:

a. identitas Pelaku Usaha;
b. perkembangan struktur pasar;
c. perkembangan potensi atau dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
d.         langkah-langkah antisipasi Pelaku Usaha terhadap potensi terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat;
e. rekomendasi untuk penghentian Pengawasan, atau tetap dalam Pengawasan dan/atau pemberian penghargaan, atau dilakukan Penyelidikan; dan/atau
f. rekomendasi dapat juga berisi pemberian penghargaan.

Komisi kemudian akan mengambil tindak lanjut berdasarkan Laporan Hasil Pengawasan. Terkait dengan titik f di atas, KPPU dapat memberikan penghargaan bagi pelaku usaha yang tidak melakukan pelanggaran selama 3 (tiga) tahun berturut-turut. Mekanisme pemberian sebagaimana dimaksud diatur lebih lanjut dalam Peraturan Komisi.

3. Penyelidikan

Penyelidikan dilakukan terhadap:

a. hasil Klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) Perkom ini;
b. Laporan Hasil Kajian;
c. Laporan Hasil Penelitian;atau
d. Laporan Hasil Pengawasan.

Harus dicatat, Penyelidikan tidak dilakukan terhadap Laporan Pelapor dengan Permohonan Ganti Rugi. Laporan Pelapor dengan Permohonan Ganti Rugi langsung masuk ke Pemeriksaan Pendahuluan.
 
Selama Penyelidikan, Unit Kerja yang menangani penyidikan melakukan serangkaian tindakan seperti memanggil dan meminta informasi dari Pelapor, Terlapor, Bisnis Aktor, dan pihak terkait lainnya; memanggil dan meminta kesaksian dari Saksi; meminta pendapat ahli; mendapatkan surat dan / atau dokumen; melakukan penyelidikan lokal dan / atau menganalisis informasi, surat dan / atau dokumen, dan juga investigasi lokal. Setelah melakukan pemeriksaan, Penyidik akan mengatur dan menandatangani Berita Acara Pemeriksaan.
 
Pelapor, Terlapor, Saksi dan Ahli harus memenuhi panggilan dari Unit Kerja yang menangani penyelidikan dalam kaitannya dengan Penyelidikan. Panggilan harus mengandung setidaknya hal-hal sebagai berikut:

a. nama pemanggil;
b. tanggal pemanggilan;
c. nama jelas pihak yang dipanggil;
d. alamat jelas pihak yang dipanggil;
e. status pihak yang dipanggil;
f. alasan pemanggilan;
g. tempat persidangan;
h. tanggal persidangan; dan
i. waktu persidangan.

Kewajiban untuk menyerahkan surat dan/atau dokumen yang diperlukan untuk para Penyelidik selama Penyelidikan merupakan kewajiban Pelapor, Terlapor, Saksi dan Ahli. Selain itu, Pelapor, Terlapor, Saksi atau Ahli harus menandatangani Berita Acara Pemeriksaan.
Jika Pelapor, Terlapor, Saksi, Ahli dan Pihak Terkait Lainnya (Hubungan Istimewa) tidak bersedia untuk menghadiri panggilan dari Unit Kerja yang menangani Penyelidikan, maka Komisi dapat meminta bantuan dari
Penyidik Kepolisian Republik Indonesia untuk menghadirkan mereka. Komisi dapat juga berkoordinasi dengan Penyidik Kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan pencarian dan/atau penyitaan surat dan/atau dokumen jika Pihak Terkait tidak bersedia untuk menyerahkan surat dan/atau dokumen yang diperlukan. Jika Pihak Terkait tidak bersedia untuk menyerahkan informasi yang diperlukan selama pemeriksaan atau menghambat proses pemeriksaan, Komisi dapat menyerahkan kepada Penyidik Kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan Penyidikan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dalam hal Pihak Terkait tidak bersedia untuk menyerahkan surat dan/atau dokumen dan informasi selama pemeriksaan atau menghambat proses pemeriksaan, dikenakan tindakan sesuai dengan ketentuan Pasal 48 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
 
Setelah memeriksa kejelasan dan kelengkapan Laporan, Unit Kerja yang menangani penyelidikan akan menyusun Laporan Hasil Penyelidikan yang terdiri dari identitas pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran, ketentuan Undang-undang yang diduga dilanggar dan persyaratan minimum dari 2 (dua) bukti. Laporan Hasil Pemeriksaan yang memenuhi persyaratan akan diserahkan kepada Unit Kerja yang menangani Pemberkasan dan Penanganan Perkara.
Jika tidak, Laporan Hasil Pemeriksaan yang tidak memenuhi persyaratan akan dimasukkan ke dalam Daftar Penghentian Penyelidikan.

Unit Kerja yang menangani Penyelidikan menyampaikan kemajuan hasil pemeriksaan ke Komisi selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak pemeriksaan telah dilakukan. Komisi dapat menghentikan pemeriksaan atau memperpanjang waktu pemeriksaan.


4. Pemberkasan

Unit Kerja yang menangani Pemberkasan dan Penanganan Perkara melakukan penilaian untuk menilai apakah Laporan Hasil Penyelidikan layak atau tidak dilakukan Gelar Laporan. Laporan Hasil Penyelidikan yang dianggap layak, disusun dalam Rancangan Laporan Dugaan Pelanggaran. Rancangan Laporan Dugaan Pelanggaran paling sedikit memuat:
 
a. identitas Terlapor yang diduga melakukan pelanggaran;
b. identitas Saksi dan atau Ahli dan Pihak Lain;
c. ketentuan Undang-Undang yang diduga dilanggar;
d. sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti; dan
e. rekomendasi perlu dilakukan Pemeriksaan Pendahuluan.

Laporan Hasil Penyelidikan yang dianggap tidak layak dilakukan Gelar Laporan akan dikembalikan ke Unit Kerja yang menangani Penyelidikan untuk dikoreksi  disertai alasan dan saran perbaikan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak Unit Kerja yang menangani Pemberkasan dan Penanganan Perkara menerimanya. Jika dalam waktu 14 (empat belas) hari tidak dikembalikan, Laporan Hasil Penyelidikan akan dinyatakan lengkap dan jelas.
 
Unit Kerja yang menangani Pemberkasan dan Penanganan Perkara kemudian akan menyerahkan Rancangan Laporan Dugaan Pelanggaran dalam Rapat Komisi untuk dilakukan Gelar Laporan. Gelar Laporan dilakukan dalam waktu 7 (tujuh) hari dari tanggal ketika Laporan Hasil Penyelidikan dinyatakan lengkap dan jelas. Rapat Komisi akan menyempurnakan atau menyetujui Rancangan Laporan Dugaan Pelanggaran menjadi yang Laporan Dugaan Pelanggaran. Berdasarkan Laporan Dugaan Pelanggaran, Ketua Komisi akan menetapkan Pemeriksaan Pendahuluan yang akan diberitahukan kepada Terlapor dan Pelapor.

5. Sidang Majelis Komisi

5.1.   Pemeriksaan Pendahuluan

Berdasarkan Penetapan Pemeriksaan Pendahuluan, Ketua Komisi akan membentuk Majelis Komisi yang terdiri dari 3 (tiga) anggota komisi yang salah satu dari mereka merangkap sebagai Ketua. Dalam kaitan dengan tugasnya, Majelis Komisi dapat dibantu oleh Panitera yang ditugaskan oleh Ketua Komisi dengan surat perintah.
Sebelum Sidang Majelis Komisi dimulai, Ketua Majelis akan membuka Sidang Majelis Komisi dan menyatakan bahwa Sidang Majelis Komisi terbuka untuk umum. Sidang Majelis Komisi
dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemeriksaan Lanjutan.

Dalam kaitannya untuk mendapatkan fakta-fakta, Majelis Komisi akan:

a. Menyelidiki dan meminta informasi dari Terlapor, Partai Pelapor, dan Saksi;
b. Meminta pendapat ahli;
c. Meminta informasi dan menit dari Lembaga Pemerintah;
d. Permintaan, memperoleh, dan menilai surat, dokumen, dan bukti lain;
e.  Melakukan investigasi lokal menuju Terlapor kegiatan atau pihak lain sehubungan dengan dugaan pelanggaran.
 
Pemeriksaan seperti yang disebutkan di atas akan dicatat dalam Berita Acara Sidang Majelis Komisi yang ditandatangani oleh Majelis Komisi dan Kepaniteraan.
Pendahuluan

Sebelum melakukan Pemeriksaan Pendahuluan, Majelis Komisi akan menentukan jadwal  Pemeriksaan Pendahuluan dan memanggil Terlapor untuk hadir dalam Pemeriksaan Pendahuluan dengan Surat Panggilan yang patut. Majelis Komisi harus melakukan Pemeriksaan Pendahuluan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak Majelis Komisi telah dibentuk.
 
Selama Pemeriksaan Pendahuluan, untuk perkara Laporan Pelapor, pembacaan
Laporan Dugaan Pelanggaran dilakukan oleh Investigator. Sementara Terlapor mempunyai hak untuk menyerahkan Tanggapan terhadap Laporan Dugaan Pelanggaran diduga, nama Saksi dan/atau Ahli, dan surat dan dokumen selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah Investigator  membacakan Laporan Dugaan Pelanggaran.
 
Terhadap perkara Laporan Pelapor dengan Permohonan Ganti Rugi, Majelis Komisi akan memberikan kesempatan bagi Pelapor untuk membaca Laporan Dugaan Pelanggaran dan kerugian yang telah diderita oleh Pelapor. Sama seperti yang dijelaskan di atas, Terlapor mempunyai hak untuk menyerahkan Respon terhadap Laporan Pelanggaran diduga, nama Saksi dan / atau Ahli, dan surat dan dokumen selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah Pelapor membaca Laporan Pelanggaran dugaan.
 
Berdasarkan Pemeriksaan Pendahuluan, Majelis Komisi dengan bantuan Kepaniteraan menyusun Laporan Hasil Pemeriksaan Pendahuluan. Kemudian Majelis Komisi akan menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan Pendahuluan pada Rapat Komisi. Jika Rapat Komisi memutuskan untuk melanjutkan penanganan kasus melalui Penyelidikan lebih lanjut, Ketua Komisi akan menetapkan Pemeriksaan Lanjutan. Pemeriksaan Pendahuluan harus selesai dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Pemeriksaan Pendahuluan telah dimulai.



5.2. Pemeriksaan Lanjutan

Hampir sama dengan Pemeriksaan Pendahuluan, Majelis Komisi akan menetapkan waktu Penyelidikan Lanjutan akan dimulai. Perbedaannya adalah Ketua Majelis Komisi akan memanggil Saksi, Ahli Bahasa, Ahli dan/atau Pemerintah untuk hadir dalam Pemeriksaan Lanjutan dengan Surat Panggilan yang patut. Majelis Komisi harus melakukan Penyelidikan Lanjutan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak penetapan Ketua Komisi.
 
Majelis Komisi dalam Pemeriksaan Lanjutan akan memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh Penyidik, Pelapor dan Terlapor yang merupakan Saksi, pendapat ahli, surat dan / atau dokumen, petunjuk dan penjelasan Terlapor. Sebelum Pemeriksaan Lanjutan berakhir, Majelis Komisi memberikan kesempatan bagi Penyidik, Pelapor dan Terlapor untuk menyerahkan kesimpulan tertulis dan/atau paparan hasil persidangan kepada Majelis Komisi.

Pemeriksaan Lanjutan harus selesai dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak Pemeriksaan Lanjutan dimulai dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari. Perpanjangan Pemeriksaan Lanjutan ditetapkan oleh Majelis Komisi yang menangani kasus ini.

6. Putusan Komisi

6.1. Musyawarah Majelis Komisi

Komisi dengan dibantu oleh Panitera melakukan Musyawarah Majelis Komisi, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak Penyelidikan Lanjutan telah berakhir, untuk memutuskan apakah ada pelanggaran atau tidak didasarkan pada bukti yang cukup yang diperoleh dari Sidang Majelis Komisi
. Hasil Musyawarah Majelis Komisi dituangkan dalam bentuk Putusan Komisi. Jika ada pelanggaran, Majelis Komisi akan menyatakan bahwa Terlapor telah melanggar ketentuan Undang-undang dan menjatuhkan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan Undang-Undang. Putusan Komisi Majelis Komisi dapat memberikan Saran dan Pertimbangan bagi Pemerintah yang terkait dengan kasus ini.
Putusan Komisi dicapai melalui musyawarah untuk mufakat yang dilakukan secara tertutup dan rahasia. Jika mufakat tidak tercapai, Putusan Komisi ditentukan oleh suara mayoritas. Musyawarah Majelis Komisi harus menyimpulkan apakah ada pelanggaran atau tidak selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sejak Pemeriksaan Lanjutan berakhir.
Jika ada anggota Majelis Komisi yang memiliki pendapat berbeda dari mayoritas anggota Majelis Komisi, maka pendapat berbeda tersebut harus dibuat secara tertulis dan bagian yang tidak terpisahkan dari Putusan Komisi. Pendapat berbeda juga harus disertai alasan-alasan dan disampaikan
kepada AnggotaMajelis Komisi lainnya dalam Musyawarah Majelis Komisi sebelum dibacakannya Putusan Komisi selambat-lambatnya 2 (dua) hari sejak konsensus tidak tercapai.

6.2. Pembacaan Putusan Komisi

Majelis Komisi akan menginformasikan Terlapor dan Pelapor mengenai waktu dan tempat Pembacaan Putusan Komisi. Majelis Komisi melakukan Pembacaan Putusan Komisi dalam sidang yang terbuka untuk umum. Petikan Putusan Komisi yang ditandatangani oleh Majelis Komisi dan Panitera dikirim ke Terlapor. Pembacaan Putusan Komisi harus dilakukan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak Pemeriksaan lanjutan berakhir.

3 komentar:

  1. Kami perlu penjelasan lebih lanjut, khususnya tentang penyalahgunaan posisi dominan alam UU No. 5 Tahun 1999

    BalasHapus
  2. sistem hukum indonesia yang digunakan untuk mengatur persaingan

    BalasHapus
  3. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0816-733-801 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus