Acara Pidana untuk Orang Awam

Tulisan ini merupakan rangkuman dari perkuliahan yang diberikan oleh Dr. Luhut M. P. Pangaribuan, S.H., LL.M. (advokat) dan Arbijoto, S.H., M.H. (mantan hakim agung) dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan oleh Pusat Penunjang Profesi Hukum (P3H) Jakarta dari 12 Juli hingga 23 Agustus 2010. Catatan tambahan juga “peramu” lengkapi dengan catatan hukum acara pidana di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan buku-buku antara lain yang ditulis oleh Andi Hamzah, Luhut M.P. Pangaribuan, dan Yahya Harahap. Tulisan ini masih belum sistematis dan akan disempurnakan lagi. Semoga bisa membantu bagi masyarakat umum yang masih awam, khususnya bagi para pencari, pembela, maupun pemberita keadilan!
*                    *                    *
Hukum acara pidana atau hukum pidana formal adalah hukum yang melaksanakan dan menegakkan hukum pidana materil. Hukum acara pidana dibagi dua, yaitu:
  1. hukum acara pidana formal, yang terdiri atas investigasi daninterogasi. Hukum acara pidana formil mengatur tentang tindakan aparat hukum dalam hal penyelidikan dan penyidikan sebelum perkara diajukan ke pengadilan (pra-ajudikasi);
  2. hukum acara pidana materil, yaitu hukum acara pidana yang mengatur perihal pembuktian di pengadilan, seperti alat bukti, teori pembuktian, kekuatan pembuktian, beban pembuktian, dan lain-lain.
Dilihat dari tahapannya, hukum acara pidana dibagi menjadi:
  1. pra-ajudikasi: tindakan aparat hukum untuk melakukanpenyelidikan dan penyidikan sebelum perkara diajukan ke pengadilan. Tujuan dari tahap ini adalah Berita Acara Pemeriksaan (BAP);
  2. ajudikasi: pemeriksaan di pengadilan, yaitu dari penuntutan sampai putusan;
  3. pasca-ajudikasi: tahap setelah putusan pidana dijatuhkan oleh hakim, termasuk upaya hukum biasa dan luar biasa.
Sementara menurut mantan hakim agung Arbijoto, hukum pidana terdiri atas dua macam, yaitu:
  1. hukum pidana formil: aturan pidana yang memuat unsur-unsur perbuatan pidana, yaitu unsur kesengajaan (ada tujuan) danunsur melawan hukum (melawan hak), misalnya pencurian; dan
  2. hukum pidana materil: aturan pidana yang menitikberatkan pada akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut, seperti pembunuhan.
I. TAHAP PRA-AJUDIKASI
Pada tahap ini, orang bebas bisa menjadi saksi atau tersangka. Bisa menjadisaksi apabila orang bebas tersebut:
  • melihat suatu tindak pidana,
  • mendengar suatu tindak pidana, dan/atau
  • mengalami suatu tindak pidana.
Bolehkah saksi menjadi tersangka? Biasanya penyidik mengatur strategi ini. Namun secara teori hukum, ini melanggar asas non-self incrimination, artinya memberikan kesaksian di pengadilan atau dalam tahap penyidikan tidak bisa menjadikan saksi tersebut sebagai tersangka atau terdakwa.
Apakah saksi wajib disumpah? Saksi boleh disumpah untuk memberikan keterangan di penyidikan, tetapi wajib disumpah pada saat di persidangan.
Apakah tersangka boleh tidak memberikan keterangan pada saat penyidikan?Boleh. Dalam common law ini disebut dengan right to remain silence.
Apakah hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi yang sudah ada di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang diminta oleh terdakwa, advokat terdakwa, atau Jaksa Penuntut Umum (JPU)? Wajib berdasarkan Pasal 160 ayat (1c) KUHAP. Namun pada praktiknya, berdasarkan SEMA No. 2 Tahun 1985, hakim ketua sidang bisa menyeleksi saksi-saksi mana saja yang bisa didengar keterangannya.
Apakah perbedaan antara penyelidikan dengan penyidikan? Seringkali kita tidak bisa membedakan antara keduanya. Namun Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan definisinya sebagai berikut:
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Sementara…
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Dari pengertian ini dan peraturan perundang-undangan yang lain, dapat disimpulkan bahwa:
  1. Penyelidikan adalah bagian dari penyidikan;
  2. Penyelidikan bertujuan untuk mengidentifikasi suatu peristiwa hukum: bisa disidik atau tidak;
  3. Penyidikan bertujuan untuk membuat terang perbuatan pidana dan menemukan tersangka (walaupun tak harus menemukan tersangkanya);
  4. Penyelidikan hanya dilakukan oleh polisi saja, sementara penyidikan dilaku kan oleh polisi, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS),  Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham) untuk kejahatan HAM, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) untuk perbuatan pidana korupsi tertentu, jaksa untuk perbuatan pidana ekonomi dan korupsi (pidana khusus), dan lain-lain yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan;
  5. Penyelidikan dapat dilakukan oleh semua polisi, sementara penyidikan hanya dapat dilakukan oleh polisi yang berpangkat pembantu letnan satu (peltu) atau yang sekarang adalah inspektur polisi satu (iptu) dan PPNS minimal golongan IIB.
Orang yang diduga melakukan tindak pidana atau tersangka dapat dikenakanupaya paksa. Macam-macam upaya paksa adalah:
  1. penangkapan;
  2. penahanan: (1) rumah tahanan negara [rutan] atau di lembaga permasyarakatan [LP/lapas], (2) penahanan rumah, dan (3) penahanan kota;
  3. penggeledahan: (1) penggeledahan badan dan (2) penggeledahan rumah — jadi seandainya ada penggeledahan kantor sesungguhnya aneh :) ;
  4. penyitaan: (1) barang bukti dan (2) bukan barang bukti [dapat di-praperadilan-kan];
  5. pemeriksaan surat;
  6. wajib lapor polisi.
A. Penangkapan
Penangkapan, menurut KUHAP, adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Jika disederhanakan, penangkapan adalah pengekangan sementara waktu tersangka atau terdakwa.
Siapa saja yang berwenang untuk menangkap? Polisi, jaksa dan PPNS dalam kapasitasnya sebagai penyidik, petugas bea cukai terhadap pelaku penyelundupan, dan lain-lain yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Apakah penangkapan memerlukan Surat Perintah Penangkapan? Ya, kecuali jika pelaku perbuatan pidana tertangkap tangan sedang melakukan kejahatan.
Apa saja isi Surat Perintah Penangkapan? Isi Surat Perintah Penangkapan secara garis besar adalah:
  • identitas tersangka;
  • alasan penangkapan;
  • uraian singkat tentang kejahatan yang dipersangkakan; dan
  • tempat pemeriksaan dilakukan.
Sementara lamanya waktu penangkapan adalah:
  • 1×24 jam secara umum; dan
  • 7×24 jam untuk tindak pidana terorisme.
Hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam penangkapan:
  • penangkapan tidak dilakukan terhadap tindak pidana pelanggaran (seperti melanggar lalu lintas);
  • status orang yang ditangkap bukan tersangka;
  • praperadilan adalah upaya hukum bagi penangkapan yang tidak sah, misalnya kesalahan identitas.
B. Penahanan
Menurut KUHAP, penahanan adalah upaya paksa menempatkan tersangka/terdakwa di suatu tempat yang telah ditentukan karena alasan dan dengan cara tertentu.
Apakah syarat-syarat dari penahanan? Ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu (1) syarat obyektif [yuridis] dan (2) syarat subyektif [necessitas]. Untuksyarat obyektif, penjabarannya adalah:
  • diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih; atau
  • diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 tahun untuk tindak pidana tertentu, seperti perbuatan yang tidak menyenangkan, percobaan, desersi, penganiayaan dengan rencana, dan lain-lain [lihat KUHAP pasal 21 ayat (4c)]
Sementara untuk syarat subyektif penahanan, sebenarnya lebih kepadakekhawatiran dari penyidik saja. Kekhawatiran apa saja? Yaitu khawatir tersangka akan:
  • melarikan diri;
  • menghilangkan barang bukti; atau
  • mengulangi tindak pidana.
Lamanya total maksimum penahanan adalah:
  1. 120 hari untuk perbuatan pidana yang diancam dengan pidana penjara 9 tahun atau lebih (20 hari + 40 hari + 30 hari + 30 hari);
  2. 60 hari untuk perbuatan pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 9 tahun.
Adapun masa waktu penahanan untuk semua tahap, termasuk tahap ajudikasi dan pasca-ajudikasi, penjabarannya adalah sebagai berikut:
  1. Penahanan polisi atau pejabat lain: 20 hari. Dapat diperpanjangmaksimum 40 hari dengan izin dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sehingga totalnya 60 hari;
  2. Penahanan atas perintah JPU: 20 hari. Dapat diperpanjangmaksimum 30 hari dengan izin Ketua Pengadilan Negeri (PN). Sehingga waktu maksimumnya 50 hari;
  3. Penahanan atas perintah Hakim PN: 30 hari. Dapat diperpanjang maksimum 60 hari dengan izin Ketua PN. Jadi totalnya 90 hari.
  4. Penahanan atas perintah Hakim Pengadilan Tinggi (PT): 30 hari. Dapat diperpanjang menjadi maksimum 90 hari dengan izin Ketua PT. Sehingga maksimumnya adalah 90 hari;
  5. Penahanan atas perintah Mahkamah Agung (MA): 50 hari. Dapat diperpanjang maksimum 60 hari. Sehingga totalnya 110 hari. Perlu dicatat bahwa tujuan penahanan adalah untuk pemeriksaan kasasi.
Upaya hukum dari penahanan adalah:
  • Surat Pengalihan Penangguhan Penahanan, yaitu dengan jaminan orang (yang paling banyak dilakukan), jaminan uang, atau jaminan orang dengan kompensasi uang;
  • Praperadilan, yang bersifat post factum, artinya praperadilan dapat dilakukan apabila sudah terjadi penahanan; atau
  • Keberatan, yang diajukan oleh tersangka, keluarga, atau advokat dari tersangka
Apakah hakim dapat memerintahkan terdakwa untuk ditahan setelah diputus bersalah? Ya, hakim dapat memerintahkannya berdasarkan KUHAP Pasal 29 ayat (2a). Bahkan, wajib untuk tindak pidana korupsi.
Namun demikian, hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam penahanan adalah sebagai berikut:
  • penahanan konsepnya hanya merupakan accessoir (tambahan), artinya dilakukan untuk keperluan pemeriksaan. Jadi jika ada seseorang yang ditahan 60 hari, namun hanya diperiksa 2 hari, artinya ada kesalahan di sini;
  • Apabila tersangka/terdakwa sudah melewati masa penahanan maksimum (termasuk perpanjangan), namun pemeriksaan belum selesai, maka demi hukum orang tersebut harus dikeluarkan dari tahanan.
C. Alat Bukti
Alat bukti dalam hukum acara pidana, yaitu:
  1. keterangan saksi;
  2. keterangan ahli;
  3. surat;
  4. petunjuk, yang diperoleh dari keterangan saksi, keterangan terdakwa, dan surat;
  5. keterangan terdakwa; dan
  6. resume, yaitu ikhtisar dan kesimpulan dari BAP.
Apakah alat bukti (evidence) sama dengan barang bukti (physical evidence)?Tidak. Barang bukti adalah:
  1. barang yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana;
  2. barang hasil dari perbuatan pidana; dan
  3. barang yang berhubungan dengan perbuatan pidana.
D. Penyerahan Berkas Perkara
Setelah penyidikan dilakukan, penyidik menyerahkan berkas perkara kepada jaksa. Pertanyaannya, diserahkan kepada jaksa yang mana? Berkas perkara diserahkan kepada jaksa peneliti, bukan JPU. Berdasarkan Keputusan Jaksa Agung No. 518/A/JA/11/2001 (1 November 2001) tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana, hasil dari pemeriksaan jaksa peneliti adalah sebagai berikut:
  1. P-21: pernyataan berkas perkara sudah lengkap;
  2. P-18: pernyataan berkas perkara belum lengkap; dan
  3. P-19: lampiran dari P-18 berisi petunjuk apa-apa saja yang harus dilengkapi, misalnya soal rekonstruksi, soal saksi ahli, dan lain-lain.
Adapun P-16 merupakan tanggapan jaksa peneliti setelah penyidik menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). P-16 merupakan Surat Perintah Penunjukkan JPU untuk mengikuti perkembangan penyidikan perkara tindak pidana.
Pada perkara korupsi, baiknya JPU memaksimalkan pemeriksaan tambahan/penyidikan lanjutan agar berkas perkara tidak bolak-balik dari tangan penyidik ke JPU dan sebaliknya.
E. Praperadilan
Praperadilan merupakan sebuah lembaga yang bertujuan untuk mengawasi penggunaan upaya-upaya paksa (dwang midelen) yang dilakukan oleh institusi kepolisian dan kejaksaan sebelum pemeriksaan pokok perkara.
Yang dapat di-praperadilan-kan bukan menyangkut substansi atau materil, melainkan hanya dari sisi administratif belaka (sayangnya!), misalnya keluarga tersangka tidak diberikan tembusan surat penahanan, bukan untuk menguji apakah sudah ada bukti permulaan yang cukup untuk menjadikan seseorang sebagai tersangka kemudian ditahan.
Apa saja yang dapat di-praperadilan-kan? Pada pokoknya ada lima, yaitu:
  • sah atau tidaknya penangkapan;
  • sah atau tidaknya penahanan;
  • sah atau tidaknya penghentian penyidikan;
  • sah atau tidaknya penghentian penuntutan; atau
  • sah atau tidaknya benda yang disita, jika benda tersebut tidak masuk ke dalam pembuktian.
Adapun alasan-alasan mengenai sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan adalah:
  • penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang didasarkan pada undang-undang, misalnya polisi menahan tersangka tanpa menunjukkan surat tugas atau surat penahanan;
  • keliru mengenai orang; atau
  • keliru mengenai hukumnya.
Sementara yang dapat dituntut dari praperadilan terhadap sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan adalah:
  • ganti kerugian yang dimintakan oleh tersangkaahli warisnya,keluarganyakuasanya, atau pihak ketiga yang berkepentingan; dan/atau
  • rehabilitasi yang diminta oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan, seperti rehabilitasi nama di koran nasional.
Berapa jumlah ganti kerugian yang dapat dimintakan? Besarnya adalah 5 ribu sampai 3 juta rupiah.
Adakah pengecualian penghentian penyidikan atau penuntutan yang tidak dapat di-praperadilan-kan? Ada, yaitu penghentian penuntutan demi kepentingan umum (deponeering) yang dilakukan oleh jaksa. Sementara untuk penghentian penyidikan, tidak ada pengecualiannya.
Siapa saja yang dapat mem-praperadilan-kan penghentian penyidikan? Yang dapat melakukannya, yaitu:
  • jaksa penuntut umum; atau
  • pihak ketiga yang berkepentingan.
Siapa saja yang dapat mem-praperadilan-kan penghentian penuntutan? Yang dapat memintakannya adalah:
  • penyidik; atau
  • pihak ketiga yang berkepentingan.
Apakah tersangka bisa mem-praperadilan-kan penghentian penyidikan atau penuntutan? Ya, dengan meminta ganti kerugian dan/atau rehabilitasi selamaperkara tidak diajukan ke PN. Tak hanya tersangka, pihak ketiga yang berkepentingan juga dapat memintakan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi.
Bagaimana jika sebuah perkara sudah mulai diperiksa di PN, sementara pemeriksaan mengenai permintaan praperadilan belum selesai? Jika demikian, permintaan praperadilan tersebut menjadi gugur.
Apakah masih dapat diajukan permintaan praperadilan di tingkat penuntutan jika sudahputusan praperadilan di tingkat penyidikan? Ya, masih dapat diajukan lagi, asalkan dengan permintaan praperadilan yang baru.
Apakah penggeledahan yang tidak sah juga dapat di-praperadilan-kan? Tentu saja dapat, misalnya penggeledahan dilakukan tanpa surat penggeledahan, penggeledahan kantor, dan lain-lain.
II. TAHAP AJUDIKASI
A. Surat Dakwaan
B. Eksepsi (Keberatan)
Eksepsi, menurut Luhut M.P. Pangaribuan, merupakan suatu hak dari terdakwa untuk menjawab surat dakwaan.  Sebelum mengajukan ekspesi, terdakwa harus sudah menerima Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari penyidik dan surat dakwaan.
Apa saja yang diminta dalam eksepsi? Biasanya yang diminta dalam eksepsi, yaitu:
  • pengadilan memiliki kewenangan untuk mengadili perkara;
  • dakwaan tidak dapat diterima; atau
  • surat dakwaan harus dibatalkan.
Apakah isi dari eksepsi? Ada tiga hal, yaitu:
  1. Eksepsi mengenai kompetensi relatif pengadilan;
  2. Eksepsi mengenai kewenangan absolut pengadilan; atau
  3. Eksepsi mengena tidak dapat diterimanya surat dakwaan
Apakah upaya hukum dari eksepsi? Apabila eksepsi ditolak, terdakwa atau advokatnya dapat mengajukan keberatan ke PT. Namun seandainya eksepsi diterima, JPU dapat mengajukan perlawanan kepada PT. Keberatan diajukan paling lambat tujuh hari setelah putusan hakim mengenai diterima/ditolaknya eksepsi tersebut.
Siapa saja yang boleh mengajukan eksepsi? Eksepsi hanya boleh diajukan oleh terdakwa atau advokatnya. Tidak boleh kedua-duanya.
C. Pleidoi
Tidak seperti Eksepsi, pleidoi dapat diajukan oleh terdakwa dan advokatnya secara bersama-sama.

PRINSIP-PRINSIP DALAM HUKUM KEPAILITAN

Menurut Black, prinsip diartikan sebagai “a fundamental truth or doctrine, as of law; a comprehensive rule or doctrine wgich furnishes a basis or origin for others”. Menurut Satjipto Rahardjo, prinsip hukum dinyatakan sebagai jantung peraturan hukum dan merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum.

Peradilan Hak Asasi Manusia

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

Hotma Timbul Hutapea, S.H., M.H.[1]

1.  PENDAHULUAN
Merupakan fakta yang tidak dapat dilupakan, khususnya bagi para korban, bahwa sejak berkuasa pada periode tahun 1966 s/d tahun 1998, selama Rezim Soeharto berkuasa banyak terjadi tindak pelanggaran hak asasi manusia, seperti dalam kasus Petrus (pembunuhan misterius), kasus Talangsari, kasus Tanjung Priok, dll.
Hampir semua kasus pelanggaran HAM yang terjadi di atas tidak diselesaikan melalui jalur hukum (pengadilan) karena hukum dan aparatur penegak hukumnya telah diintervensi oleh rezim yang berkuasa, sehingga hukum tidak lagi dapat memberikan keadilan bagi para korban akan tetapi digunakan untuk memperkuat kekuasan rezim yang berkuasa,
Jatuhnya Soeharto pada bulan Mei 1998 ternyata juga tidak membawa perbaikan bagi penegakan HAM, walaupun desakan dari rakyat, melalui lembaga swadaya masyarakat, para korban sendiri maupun anggota masyarakat lainnya, tetap dilakukan agar pemerintah dapat memberikan perlindungan HAM bagi rakyatnya termasuk mengusust kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi.
Peristiwa kerusuhan pasca jajak pendapat di Timor-Timor pada tahun 1999 memberikan dampak yang penting bagi penegakan HAM di Indonesia, karena peristiwa kerusuhan tersebut, yang dikualifikasi sebagai perbuatan pelanggaran HAM yang berat (gross violation of human rights), telah “memaksa” pemerintah Indonesia untuk membuat seperangkat aturan hukum yang dapat menjadi landasan hukum bagi pembentukan pengadilan HAM di Indonesia, sebagai akibat dari tekanan dunia internasional yang peduli terhadap perlindungan dan penegakan HAM.
Pembuatan perangkat aturan hukum mengenai pelanggaran HAM berat dan pembentukan pengadilan HAM diperlukan karena perangkat aturan hukum yang berlaku, yang sebagian besar merupakan aturan peninggalan zaman penjajahan Belanda, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tidak mengatur mengenai pelanggaran HAM berat sebagai extra ordinary crime, akan tetapi hanya mengatur kejahatan-kejahatan konvensional, seperti pembunuhan sebagaimana di atur dalam Pasal 338 KUHP[2], penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP[3]. Penculikan sebagaimana diatur dalam Pasal 333 KUHP[4], perkosaan sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP[5], dll.
Selain itu perangkat hukum yang berlaku juga tidak memperbolehkan atau melarang pemberlakukan aturan hukum yang berlaku surut (retro active) terhadap perbuatan-perbuatan yang baru dinyatakan sebahgai tindak pidana berdasarkan aturan hukum yang berlaku surut tersebut, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)[6], yang dalam ilmu hukum pidana dikenal sebagai asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali [7], jo Pasal 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945[8].
Tekanan dunia internasional kepada Indonesia untuk membuat seperangkat aturan hukum yang dapat menjadi landasan hukum bagi pembentukan pengadilan HAM di Indonesia, khususnya untuk mengadili Peristiwa kerusuhan pasca jajak pendapat di Timor-Timor pada tahun 1999, tergambar dari keluarnya Resolusi Dewan Keamanan PBB 1264, yang pada pokoknya memberikan kewajiban kepada Indonesia untuk mengadili pihak-pihak yang terlibat atas terjadinya kekerasan pada Peristiwa kerusuhan pasca jajak pendapat di Timor-Timor pada tahun 1999.
Begitu kuatnya tekanan dari dunia internasional juga tergambar dari pernyataan Sekretaris Jenderal PBB saat itu, yaitu Kofi Annan, yang menyatakan : “Kami berjanji untuk memastikan bahwa pihak-pihak yang terbukti melakukan pelanggaran hak asasi manusia semasa dan pasca penentuan pendapat Agustus 1999 lalu akan dibawa ke pengadilan. Jika ingin menghindari pengadilan Internasional, Pemerintah Indonesia harus membuktikan bahwa pengadilan hak asasi manusia yang dilakukannya betul-betul transparan dan memenuhi standar internasional”.[9]
Atas dasar tekanan-tekanan tersebut, pemerintahan pada saat itu, yang dipimpin oleh Presiden B.J. Habibie, akhirnya mengesahkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM (UU HAM) pada tanggal 23 September 1999, setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Pasal 104 dari UU HAM menjadi landasan pembentukan Pengadilan HAM, yang berbunyi :
(1)  Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat di bentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia dilingkungan peradilan umum.
(2)  Pengadilan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang dalam waktu paling lama 4 tahun.
(3)  Sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diadili oleh pengadilan yang berwenang.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 104 UU HAM tersebut di atas, pemerintah kemudian membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan HAM (Perpu), dengan alasan bahwa pembentukan pengadilan HAM bersifat mendesak dan bersifat kegentingan yang memaksa.
Akan tetapi ternyata pembentukan pengadilan HAM tidak dapat segera terwujud karena Perpu No. 1 Tahun 1999 tersebut ditolak oleh DPR RI untuk menjadi undang-undang. Alasan mengenai ditolaknya Perpu tersebut adalah sebagai berikut :
1.   Secara konstitusional pembentukan perpu tentang pengadilan HAM dengan mendasarkan pada Pasal 22 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”, yang dijadikan dasar untuk mengkualifikasikan adanya kegentingan yang memaksa dianggap tidak tepat.
2.   Subtansi yang diatur dalam Perpu tentang Pengadilan HAM masih terdapat kekurangan atau kelemahan antara lain, sebagai berikut :
-     Kurang mencerminkan rasa keadilan karena ketentuan dalam perpu tersebut tidak berlaku surut (retroaktif), sehingga pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum Perpu ini disahkan menjadi undang-undang tidak tercakup pengaturannya.
-     Masih terdapat ketentuan yang dinilai menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam konvensi tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan genosida tahun 1948 dan tidak sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku.
-     Masih menggunakan standar konvensional, yakni dengan mendasarkan pada KUHP yang hanya membatasi tuntutan pada personal sehingga tidak mampu menjangkau tuntutan secara lembaga.
-     Masih terdapat subtansi yang kontradiktif dan berpotensi untuk berbenturan atau overlapping dengan hukum positif.[10]
Berkaitan dengan penolakan di atas, sempat terjadi perdebatan mengenai kapan Perpu ini mulai di cabut, karena pada kenyataannya Perpu tersebut, walaupun telah ditolak oleh DPR,RI namun tetap dinyatakan berlaku dengan alasan mengisi kekosongan hukum, dan akhirnya baru dicabut pada tanggal 23 November 2000, dengan pengesahan UU No. 26 Tahun 2000, khususnya pada Pasal 50.[11]
Oleh karena ada penolakan dari DPR RI maka pemerintah menyusun RUU Pengadilan HAM, yang setelah melalui pembahasan mendalam selanjutnya disetujui oleh DPR RI dan disahkan oleh Pemerintah RI dengan nama UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (UU Pengadilan HAM) pada tanggal 23 November 2000.

2.  KEKHUSUSAN PENGADILAN HAM DI INDONESIA
2.1.Struktur Pengadilan HAM
a.   Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum[12]
b.   Tempat kedudukan Pengadilan HAM adalah sebagai berikut :[13]
(1)   Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
(2)   Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
2.2.Jurisdiksi Pengadilan HAM
Pengadilan HAM mempunyai wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara:[14]
a.   Pelanggaran HAM yang berat diwilayah teritorial Negara Republik Indonesia.
b.   Pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia di luar batas wilayah Negara Republik Indonesia. Ketentuan ini dimaksud untuk melindungi Warga Negara Indonesia yang melakukan pelanggaran HAM berat diluar batas wilayah negara Republik Indonesia.
2.3.Kompetensi Pengadilan HAM
  1. memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yaitu Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dan Kejahatan Genosida.[15]
  2. memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia.
  3. tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan.
2.4.Menganut Asas Non Retro Aktif, yang dapat dikesampingkan dengan mengacu Pada Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000.
Pengadilan HAM hanya dapat memutus dan memeriksa pelanggaran HAM berat yang dilakukan setelah berlakunya UU No. 26 Tahun 2000, yaitu pada tanggal 23 Nopember 2000. sedangkan untuk pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum tanggal 23 Nopember 2000 berdasarkan pasal 43 UU no. 26 tahun 2000 akan diperiksa dan diputus melalui Pengadilan HAM ad hoc.
2.5.Penyelidikan Pelanggaran HAM berat hanya dapat dilakukan oleh KOMNAS HAM, sehingga penuntasan penegakan hukum pelanggaran HAM berat hanya dapat dimulai dengan adanya penyelidikan pelanggaran HAM yang berat oleh Komnas HAM.[16]
2.6.Dimungkinkan adanya penyelidik ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut umum ad hoc, dan hakim ad hoc; [17]
2.7.Adanya kepastian menganai jangka waktu penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara di pengadilan; [18]

2.8.Adanya ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi;[19]
2.9.Tidak adanya kadaluarsa bagi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. [20]
2.10.        Tidak berlakunya Ketentuan mengenai kewenangan Atasan Yang Berhak Menghukum dan Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal 123 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dalam pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. [21]

3.  PENGERTIAN PELANGGARAN HAM BERAT YANG MENJADI KOMPETENSI PENGADILAN HAM DI INDONESIA
UU No 26 Tahun 2000 tidak memberikan pengertian yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan Pelanggaran HAM yang berat, oleh karena Pasal 1 angka 2 hanya menyatakan bahwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”.
Ketentuan lebih lanjut dalam UU No, 26 Tahun 2000 tersebut adalah dalam Pasal 7 yang menyatakan bahwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat meliputi : a. kejahatan genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan”. Dalam bagian penjelasan Pasal 7 dinyatakan bahwa ’Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam ketentuan ini sesuai dengan ‘Rome Statute of The International Criminal Court’ (Pasal 6 dan Pasal 7)”
Pengertian Kejahatan genosida terdapat dalam Pasal 8, yang menyatakan : Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a.   membunuh anggota kelompok;
b.   mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c.   menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d.   memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
e.   memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Sedangkan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan menurut pasal 9 adalah : salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a.   pembunuhan;
b.   pemusnahan;
c.   perbudakan;
d.   pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e.   perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f.    penyiksaan;
g.   perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h.   penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i.    penghilangan orang secara paksa; atau
j.    kejahatan apartheid.
Penjelasan Pasal 9 UU Pengadilan HAM tidak memberikan pengertian atau penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan serangan yang meluas atau sistematik, yang ada hanya penjelasan mengenai serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, yang secara lengkap uraiannya adalah sebagai berikut :
“Yang dimaksud dengan “serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil” adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi,
huruf a
yang dimaksud dengan “pembunuhan” adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pemusnahan” meliputi perbuatan yang menimbulkan penderitaan yang dilakukan dengan sengaja, antara lain berupa perbuatan menghambat pemasokan barang makanan dan obat-obatan yang dapat menimbulkan pemusnahan pada sebagian penduduk.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “perbudakan” dalam ketentuan ini termasuk perdagangan manusia, khususnya perdagangan wanita dan anak-anak.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa” adalah pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan lain dari daerah dimana mereka bertempat tinggal secara sah, tanpa didasari alasan yang dizinkan oleh hukum internasional.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Yang dimaksud dengan “penyiksaan” dalam ketentuan ini adalah dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat, baik fisik maupun mental, terhadap seseorang tahanan atau seseorang yang berada di bawah pengawasan.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Yang dimaksud dengan “penghilangan orang secara paksa” yakni penangkapan, penahanan, atau penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau persetujuan dari negara atau kebijakan organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut atau untuk memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang tersebut, dengan maksud untuk melepaskan diri dari perlindungan hukum dalam jangka waktu yang panjang.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “kejahatan apartheid” adalah perbuatan tidak manusiawi dengan sifat yang sama dengan sifat-sifat yang disebut dalam Pasal 8 yang dilakukan dalam konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan rezim itu.
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 jo Pasal 7 UU Pengadilan HAM, tersebut di atas, jelas bahwa kejahatan-kejahatan yang menjadi juridiksi dari Pengadilan HAM adalah pelanggaran HAM berat, yang terdiri dari Kejahatan Kemanusiaan dan Kejahatan Genosida.
Juridiksi dari Pengadilan HAM di Indonesia ternyata berbeda dengan juridiksi yang diatur dalam Rome Statute of the International Criminal Court (Statuta Roma atau Statuta ICC), Statute of International Tribunal for the Prosecution of Persons Responsible for the Serious Violations of International Humanitarian Law ini the Territory of Former Yugoslavia since 1991 (Statuta ICTY), yang diterima oleh Dewan Keamanan (DK PBB) pada tanggal 25 Mei 1993 (Resolusi S/Res/827 (1993)) maupun dalam Statute of the International Tribunal for Rwanda 1994 (Statuta ICTR), yang ditetapkan oleh DK PBB pada tanggal 23 September 1994 (Resolusi S/RES/941 (1994).
Dalam Statuta Roma[22] dan statute ICTY[23], jurisdiksi dari pengadilan adalah sebagai berikut :
1.                  Kejahatan Genosida;
2.                  Kejahatan Terhadap Kemanusiaan;
3.                  Kejahatan Perang;
4.                  Kejahatan Agresi.
Sedangkan Statuta ICTR hanya mengatur 3 jenis kejahatan, yaitu:[24]
1.      Kejahatan Genosida;
2.      Kejahatan Terhadap Kemanusiaan;
3.      Kejahatan Perang;

4.  HUKUM ACARA PENGADILAN HAM
4.1. Penyelidikan Pelanggaran HAM berat
a.   Pengertian Penyelidikan
Dalam Pasal 1 butir 5 UU No. 26 Tahun 2000 dinyatakan bahwa penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang merupakan pelanggaran HAM yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undangundang ini.
Berdasarkan pengertian di atas, maka pengertian penyelidikan mencakup tindakan-tindakan penyelidik untuk menemukan dan memastikan :
1.  apakah suatu peristiwa hukum yang terjadi merupakan kejahatan genosida atau
2.  apakah peristiwa hukum yang terjadi tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan atau
3.  apakah peristiwa hukum yang terjadi tersebut merupakan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

b.   Penyelidik Pelanggaran HAM berat
Kewenangan untuk menjadi penyelidik yang menyelidiki pelanggaran HAM berat menurut Pasal 18 UU No. 26 tahun 2000 hanya dimiliki dan diberikan kepada Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (KOMNAS HAM) sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan.
Dalam melakukan penyelidikan, KOMNAS HAM dapat melakukannya sendiri ataupun membentuk Tim Ad hoc, yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat, yaitu tokoh dan anggota masyarakat yang profesional, berdedikasi, berintegritas tinggi, dan menghayati di bidang hak asasi manusia.[25]
c.   Tugas dan kewenangan KOMNAS HAM sebagai Penyelidik Pelanggaran HAM Berat
Kewenang Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan ditentukan dalam Pasal 19 UU No. 26 Tahun 2000 yang menyatakan sebagai berikut :
a.   melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
b.   menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti;
c.   memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya;
d.   memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya;
e.   meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;
f.    memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya;
g.   atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1)  pemeriksaan surat;
2)  penggeledahan dan penyitaan;
3)  pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu;
4)  mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.

d.   Pemanggilan Paksa Dalam Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat
Dalam praktek seringkali saksi-saksi, khususnya yang merupakan pejabat pemerintahan atau ABRI atau Polri, yang dipanggil untuk menjalani pemeriksaan di tingkat penyidikan atau penuntutan tidak bersedia hadir.
Baik UU Pengadilan HAM maupun Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang merupakan lex generalis dari UU Pengadilan HAM yang merupakan lex spesialis, tidak mengatur mengenai pemanggilan paksa kepada para saksi tersebut untuk hadir dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan. KUHAP, yaitu dalam Pasal 112 ayat (2) hanya mengatur pemanggilan paksa dalam tingkat penyidikan, yang menyatakan : “Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.”
Oleh karena kewenangan itu hanya dimiliki oleh penyidik, maka penyelidik dapat mengajukan permohonan pemanggilan paksa kepada para saksi yang tidak bersedia hadir tersebut kepada penyidik.
Selain itu pemanggilan paksa tersebut juga dapat dimohonkan oleh penyidik kepada Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 95 UU HAM, yang menyebutkan : “Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk memenuhi panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
4.2. Penyidikan Pelanggaran HAM berat
a.   Pengertian Penyidikan
Pengertian penyidikan tidak terdapat dalam UU No. 26 tahun 2000 tetapi dapat dicari rujukannya dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menyatakan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Berdasarkan pengertian di atas, maka pengertian penyidikan pelanggaran HAM berat mencakup tindakan-tindakan penyidik untuk menemukan dan mengumpulkan bukti guna:
1.  membuat terang bahwa kejahatann kemanusiaan dan atau kejahatan genosida yang ditemukan oleh Komnas HAM, memang benar terjadi.
2.  menemukan tersangka atas kejahatann kemanusiaan dan atau kejahatan genosida tersebut.
b.   Penyidik Pelanggaran HAM berat
Kewenangan untuk menjadi penyidik yang menyidik pelanggaran HAM berat menurut Pasal 21 UU No. 26 tahun 2000 hanya dimiliki dan diberikan kepada Jaksa Agung, sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan pelanggaran HAM berat.
Dalam melakukan penyidikan, jaksa Agung dapat mengangkat penyidik-penyidik yang berasal dari lingkungan kejaksaan atau dapat juga mengangkat penyidik-penyidik Ad Hoc, yang terdiri dari unsur pemerintah dan atau masyarakat, yaitu terdiri dari organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan yang lain seperti perguruan tinggi.[26]
Untuk dapat dingkat menjadi penyidik ad hoc, maka harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :[27]
a.      warga negara Republik Indonesia;
b.      berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;
c.       berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
d.     sehat jasmani dan rohani;
e.      berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f.        setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
g.      memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
h.      Mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing, sebelum melaksanakan tugasnya.
c.   Tugas dan kewenangan Jaksa Agung sebagai Penyidik Pelanggaran HAM Berat
UU No. 26 Tahun 2000 tidak menentukan kewenangan penyidik dalam melakukan penyidikan pelanggaran HAM berat, akan tetapi kewenangan penyidik dapat ditemukan dalam Pasal 7 KUHAP yang menyatakan kewenangan yang dimiliki penyidik sebagai berikut :
a. menerima-laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka ;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
d.   Penangkapan Untuk Kepentingan Penyidikan Pelanggaran HAM Berat[28]
1.   Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
2.   Pelaksanaan tugas penangkapan sebagaimana dimaksud di atas dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dipersangkakan.
3.   Tembusan surat perintah penangkapan di atas harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
4.   Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik.
5.   Penangkapan di atas dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari.
6    Masa penangkapan dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan.
e.   Penahanan Untuk Kepentingan Penyidikan Pelanggaran HAM Berat [29]
1.   Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan.
2.   Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
3.   Penahanan untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari.
4.   Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
5.   Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.


f.    Jangka Waktu Penyidikan Pelanggaran HAM Berat [30]
1.   Penyidikan wajib diselesaikan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik.
2.   Jangka waktu di atas dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
3.   Dalam hal jangka waktu di atas habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, penyidikan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
4.   Apabila dalam jangka waktu di atas dari hasil penyidikan tidak diperoleh bukti yang cukup, maka wajib dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung.
5.   Setelah surat perintah penghentian penyidikan dikeluarkan, penyidikan hanya dapat dibuka kembali dan dilanjutkan apabila terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan untuk dilakukan penuntutan.
6.   Dalam hal penghentian penyidikan di atas tidak dapat diterima oleh korban atau keluarganya, maka korban, keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, berhak mengajukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.3. Penuntutan Pelanggaran HAM berat
a.   Pengertian Penuntutan
Pengertian Penuntutan tidak terdapat dalam UU No. 26 tahun 2000 tetapi dapat dicari rujukannya dalam Pasal 1 angka 7 KUHAP, yang menyatakan Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
b.   Penuntutan Pelanggaran HAM berat
Kewenangan untuk melakukan penuntutan pelanggaran HAM berat menurut Pasal 23 UU No. 26 tahun 2000 hanya dimiliki dan diberikan kepada Jaksa Agung, sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penuntutan pelanggaran HAM berat.
Dalam melakukan penuntutan, jaksa Agung dapat mengangkat penuntut umum-penuntut umum yang berasal dari lingkungan kejaksaan atau dapat juga mengangkat penuntut umum-penuntut umum Ad Hoc, yang terdiri dari unsur pemerintah dan atau masyarakat, yaitu yang diutamakan diambil dari mantan penuntut umum di Peradilan Umum atau oditur di Peradilan Militer..[31]
Untuk dapat dingkat menjadi penuntut umum ad hoc, maka harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :[32]
a.      warga negara Republik Indonesia;
b.      berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;
c.       Berpendidikan sarjana hukum dan berpengalaman sebagai penuntut umum;
d.     sehat jasmani dan rohani;
e.      berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f.        setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
g.      memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
h.      Mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing, sebelum melaksanakan tugasnya.
c.   Tugas dan kewenangan Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Pelanggaran HAM Berat
UU No. 26 Tahun 2000 tidak menentukan kewenangan penuntut umum dalam melakukan penuntutan pelanggaran HAM berat, akan tetapi kewenangan penuntut dapat ditemukan dalam Pasal 14 KUHAP yang menyatakan kewenangan yang dimiliki penuntut umum adalah sebagai berikut :
a.   menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;
b.   mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c.   memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d.   membuat surat dakwaan;
e.   melimpahkan perkara ke pengadilan;
f.    menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g.   melakukan penuntutan;
h.   menutup perkara demi kepentingan hukum;
i.    mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
j.    melaksanakan penetapan hakim.
d.   Penahanan Untuk Kepentingan Penuntutan Pelanggaran HAM Berat [33]
1.   Jaksa Agung sebagai penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penuntutan.
2.   Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
3.   Penahanan untuk kepentingan penuntutan dapat dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari.
4.   Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
5.   Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penuntutan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.


e.   Jangka Waktu Penuntutan Pelanggaran HAM Berat [34]
Penuntutan wajib dilaksanakan paling lambat 70 (tujuh puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyidikan diterima.
4.3. Pengadilan HAM
a.   Kewenangan Pengadilan HAM
Kewenangan Pengadilan HAM di atur dalam Pasal 4 jo Pasal 27 UU No. 26 Tahun 2000 yang menyatakan Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Penjelasan pasal 4 di ayas menyatakan bahwa Yang dimaksud dengan "memeriksa dan memutus" dalam ketentuan ini adalah termasuk menyelesaikan perkara yang menyangkut kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.   Pemeriksaan oleh Majelis Hakim
Dalam Pasal 27 ayat (2) UU No. 26 tahun 2000 dinyatakan bahwa : Pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
Berkaitan dengan hakim ad hoc, maka ditentukan hal-hal sebagai berikut:
1.   "Hakim ad hoc" adalah hakim yang diangkat dari luar hakim karier yang memenuhi persyaratan profesional, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, memahami dan menghormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia.[35]
2.   Hakim ad hoc Pengadilan HAM dan Hakim ad hoc Pengadilan Tinggi HAM diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung[36],.sedangkan Hakim ad hoc di Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.[37]
3.   Jumlah hakim ad hoc Pengadilan HAM dan Hakim ad hoc Pengadilan Tinggi HAM sekurang-kurangnya 12 (dua belas) orang.[38], sedangkan jumlah hakim ad hoc di Mahkamah Agung sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang.
4.   Hakim ad hoc Pengadilan HAM dan Hakim ad hoc Pengadilan Tinggi HAM diangkat untuk selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.[39], sedangkan hakim ad hoc Mahkamah Agung hanya untuk satu kali masa jabatan.[40]
5.   Untuk dapat diangkat menjadi Hakim ad hoc Pengadilan HAM dan Hakim ad hoc Pengadilan Tinggi HAM harus memenuhi syarat:[41]
a)   warga negara Republik Indonesia;
b)   bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c)    berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;
d)  berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
e)   sehat jasmani dan rohani;
f)     berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g)   setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
h)   memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
Sedangkan untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc Mahkamah Agung, persyaratannya sama dengan di atas, kecuali persyaratan umur, yaitu sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun.[42]
c.   Penahanan Untuk Kepentingan Pemeriksaan di Pengadilan HAM, Pengadilan Tinggi HAM dan Nahkamah Agung[43]
1.   Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan HAM dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari.
2.   Jangka waktu di atas dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
3.   Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari.
4.   Jangka waktu di atas dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukumnya.
5.   Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari.
6.   Jangka waktu di atas dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Mahkamah Agung.
e.   Jangka Waktu Pemeriksaan di Pengadilan HAM, Pengadilan Tinggi HAM dan Mahkamah Agung [44]
1.   Perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan HAM.
2.   Dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi, maka perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi.
3.   Dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung.

5.  Pelanggaran HAM Berat Sebelum Berlakunya UU No. 26 Tahun 2000
UU No. 26 Tahun 2000 mulai berlaku terhitung dari tanggal 23 November Tahun 2000, sehingga berdasarkan asas hukum pidana yang berlaku umum, yaitu Asas Legalitas/Asas Nullum Delictum (yaitu asas yang menyatakan tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahulu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu delik dan yang memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu.) [45] atau dikenal juga dengan sebutan asas Non Retro Aktif non retro active (yaitu asas yang menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut), UU No. 26 tahun 2000 tidak dapat diberlakukan terhadap peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM Berat yang terjadi sebelum tanggal 23 November Tahun 2000, padahal merupakan fakta ada banyak peristiwa hukum yang diduga kuat sebagai pelanggaran HAM Berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 26 Tahun 2000.
Asas Nullum Delictum tersebut di Indonesia terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan bahwa : “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada’. Selain itu juga terdapat dalam Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28 i ayat (1) yang menyatakan : “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Dengan mengacu pada sifat kejahatan terhadap kemanusiaan yang merupakan extra ordinary crime dan digolongkan sebagai kejahatan paling serius yang menyangkut komunitas internasional secara keseluruhan atau pelanggaran serius hukum humaniter internasional serta diakui keberadaannya dalam hukum kebiasaan internasional maupun adanya praktek-praktek peradilan di atas, maka asas berlaku surut dalam UU Pengadilan HAM atas kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan pengecualian terhadap asas non retro active atau nullum delictum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dan Pasal 28 i UUD 1945.
Praktek Ad Hoc Tribunal dilakukan untuk pelanggaran HAM Berat pada waktu Perang Dunia Kedua, yaitu di Tokyo, atau di Nurenmberg atau di Rwanda atau di Jugoslavia.
Selain mengacu pada hukum kebiasaan internasional di atas, pengesampingan Asas Legalitas (Asas Nullum Delictum/Non Retro Aktif) juga dilakukan di Indonesia, sebagaimana terdapat dalam Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000, yang berbunyi sebagai berikut :
1)   Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
(2)  Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
(3)  Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di lingkungan Peradilan Umum.
Sedangkan penjelasan Pasal 43 ayat (2) di atas berbunyi sebagai berikut : Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini.
Berkaitan dengan keberadaan Pasal 43 di atas, ternyata menimbulkan kontroversi sebagai berikut :
1.   Ada beberapa pihak yang menolak keberadaan Pasal 43 di atas karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28 i ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi : Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Berkaitan dengan penolakan tersebut, ternyata Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara No. 065/PUU-II/2004, yang diajukan oleh ABILIO JOSE OSORIO SOARES, menyatakan bahwa Pasal 43 UU No.26 Tahun 2000 tibak terbukti bertentangan dengan Pasal 28 i ayat (1) UUD 1945.
Dengan Putusan Mahkamah konstitusi di atas, sudah terang bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 26 Tahun 2000 tetap dapat dituntut dan diadli berdasarkan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000.
2.   Selain itu ketentuan pasal 43 tersebut menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan masyarakat, yaitu ada yang berpendapat bahwa proses penyelidikan pelanggaran HAM berat dilakukan setelah adanya usul dari DPR dan ada yang berpendapat sebaliknya yaitu bahwa Usul DPR mengenai pembentukan pengadilan HAM ad hoc justru baru dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dari Komnas HAM dan atau penuntutan dari Kejaksaan Agung.
Saya sendiri berpendapat bahwa Usul DPR mengenai pembentukan pengadilan HAM ad hoc justru baru dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dari Komnas HAM dan atau penuntutan dari Kejaksaan Agung dengan argumentasi-argumentasi sebagai berikut :
Pertama, dengan memperhatikan ketentuan penjelasan Pasal 43 tersebut, jelas dinyatakan bahwa usul DPR untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc didasarkan pada adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat. Sedangkan pihak atau lembaga yang berwenang untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM yang berat adalah Komnas HAM, sebagaimana ditentukan Pasal 18, sehingga seharusnya usulan DPR tersebut dilakukan setelah Komnas HAM menemukan adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat. Jadi bagaimana mungkin DPR mengajukan usul pembentukan pengadilan HAM ad hoc jika belum ada kepastian hukum mengenai ada atau tidaknya dugaan pelanggaran HAM yang berat.
Kedua, selain itu ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM di atas secara jelas mengatur dan menentukan mengenai pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc-nya, yang dibentuk berdasarkan usul DPR RI kepada Presiden dan bukan mengatur mengenai penyelidikan pelanggaran HAM yang berat (di masa lalu). Dalam praktek pengadilan HAM ad hoc yang telah ada, yaitu yang diatur dalam Keputusan Presiden No. 53 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk kasus Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-Timor dan Tanjung Priok, ditentukan bahwa yang dibentuk adalah Pengadilan HAM AD Hoc-nya di Jakarta Pusat, dan tidak menyebutkan pengaturan mengenai penyelidikan pelanggaran HAM yang berat (Pasal 1).
Ketiga, ketentuan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM sebenarnya telah secara jelas mengatur tentang peran DPR yaitu bahwa DPR RI mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc didasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu. Dalam proses hukum didapatkan atau tidaknya suatu “dugaan” telah terjadinya pelanggaran ataupun tindak pidana hanya bisa diperoleh melalui suatu proses penyelidikan pro justicia yang dilakukan oleh penyelidik yang berwenang menurut hukum. Dalam ketentuan hukum yang mengatur mengenai tugas dan wewenang DPR RI, yaitu dalam UU No. 4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR RI, DPR RI dan DPRD maupun penggantinya, yaitu UU No. 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR RI, DPR RI, DPD  dan DPRD tidak ada satu ketentuanpun yang memberi wewenang kepada DPR untuk melakukan penyelidikan dalam menentukan dugaan telah terjadinya suatu pelanggaran HAM yang berat, oleh karena DPR memang bukan merupakan lembaga penegak hukum. Sedangkan ketentuan hukum yang mengatur mengenai wewenang untuk melakukan penyelidikan dalam menentukan dugaan telah terjadinya suatu pelanggaran HAM yang berat adalah dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan HAM yang menentukan bahwa yang berwenang melakukan penyelidikan pelanggaran HAM yang berat adalah Komnas HAM dan bukan DPR. Selain itu DPR bukanlah merupakan lembaga hukum dan tidak memiliki kewenangan melakukan penyelidikan. Selanjutnya apabila proses penyelidikan dan penyidikan menghasilkan kesimpulan adanya dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat, maka hasil inilah yang menjadi dasar DPR untuk mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc kepada Presiden.
Keempat, kewenangan penyelidikan yang dimiliki oleh Komnas terhadap pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM, yang mana penyelidikan tersebut dilakukan sebelum dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc oleh Presiden atas usulan DPR, telah menjadi praktek hukum atau preseden di Indonesia, seperti yang terjadi pada kasus pelanggaran HAM yang berat Timor-Timor dan Tanjung Priok, yaitu sebagai berikut :
a.  Dalam kasus pelanggaran HAM yang berat di Timor-Timor, Keputusan Presiden No. 53 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk kasus Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-Timor dan Tanjung Priok, yang dikeluarkan pada tanggal 23 April 2001 dikeluarkan berdasarkan usulan DPR RI kepada Presiden untuk pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc terhadap dugaan Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-Timor dan Tanjung Priok pada tahun 1984, melalui Keputusan DPR RI No.44/DPR-RI/2000-2001 tertanggal 21 Maret 2001. Usulan DPR tersebut berdasarkan pada hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM pada tanggal 23 September 1999 hingga akhir Desember 1999 berdasarkan Surat Keputusan Ketua Komnas HAM No.770/TUA/IX/99 tertanggal 22 September 1999, yang diperpanjang hingga tanggal 31 Januari 2000 dengan SK Ketua Komnas HAM No.857/TUA/XII/99 tertanggal 29 Desember 1999 untuk kasus pelanggaran HAM yang berat Timor Timur.
b.  Sedangkan dalam kasus Tanjung Priok, Komnas HAM melakukan penyelidikan pada tanggal 8 Maret 2000 berdasarkan Surat Keputusan Ketua Komnas HAM No.002/ Komnas HAM/III/2000 yang disempurnakan dengan Surat Keputusan Ketua Komnas HAM No.003/Komnas HAM/III/2000. Hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh penyidik Kejaksaan Agung yang kemudian diajukan kepada DPR untuk pembentukan pengadilan HAM ad hoc.
Kelima, berdasarkan argumentasi dan fakta tersebut di atas, jelas bahwa usulan DPR RI maupun Keputusan Presiden dalam kasus pelanggaran HAM yang berat di Timor-Timor dan Tanjung Priok dikeluarkan setelah adanya hasil penyelidikan KOMNAS HAM mengenai telah terjadinya dugaan pelanggaran HAM yang berat di Timor-Timor dan Tanjung Priok.
Perkembangan terbaru adalah mengacu pada Putusan dalam Perkara No. 065/PUU-II/2004, yang diajukan oleh ABILIO JOSE OSORIO SOARES, menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026), sepanjang mengenai kata ”dugaan” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bahwa pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi di atas antara lain berbunyi : “Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan proses pembentukan Pengadilan HAM ad hoc yang melibatkan DPR dengan mendasarkan adanya dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM berat, menurut Pemohon sangat bernuansa politis dan membuka peluang intervensi politis atas proses hukum. Sehingga, menurut Pemohon, peranan DPR dapat diartikan memasuki ranah kekuasaan yudisial dan merusak prinsip ”integrated justice system”. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan Pengadilan HAM ad hoc atas suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti memang memerlukan keterlibatan institusi politik yang mencerminkan representasi rakyat yaitu DPR. Akan tetapi, DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang memang berwenang untuk itu. Oleh karena itu, DPR tidak akan serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang berwenang, dalam hal ini Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Harus dipahami bahwa kata ”dugaan” dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) sebagai akibat dapat ditafsirkannya kata ”dugaan” berbeda dengan mekanisme sebagaimana diuraikan di atas. Dengan demikian, sebagian permohonan Pemohon yang terkait dengan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM sepanjang mengenai kata ”dugaan” beralasan.
Berdasarkan pertimbangan di atas, ada beberapa hal yang mendapat penegasan, yaitu :
1.   Perlu tidaknya pembentukan Pengadilan HAM ad hoc memang memerlukan keterlibatan institusi politik yang mencerminkan representasi rakyat yaitu DPR.
2.     DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dari Komnas HAM sebagai penyelidik dan penyidikan dari Kejaksaan Agung sebagai penyidik sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000

6.  Hak Atas Kompensasi (Ganti Rugi), Restitusi dan Rehabilitasi.
Sebagai konsekuensi dari ditegakkannya asas kepastian hukum, maka para korban pelanggaran HAM yang berat berhak atas ganti rugi sebagai akibat dari pelanggaran HAM yang dialaminya.
Pengakuan mengenai hak korban atas ganti rugi tersebut dapat ditemukan dalam dalam Pasal 8 UDHR yang menyebutkan bahwa : “Setiap orang mempunyai hak atas ganti rugi yang efektif oleh pengadilan nasional yang berwenang untuk perbuatan-perbuatan yang melanggar hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh konstitusi atau undang-undang”
Sedangkan dalam hukum nasional, pengakuan mengenai hak korban atas ganti rugi diatur dalam Pasal 35 UU Pengadilan HAM, yang menyatakan bahwa :
(1) Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
(2) Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM.
(3)  Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Peraturan pelaksanaan dari Pasal 25 UU Pengadilan HAM di atas terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restirusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Aasasi Manusia yang Berat (selanjutnya disingkat PP Kompensasi). Dalam Pasal 2 ayat (1) PP Kompensasi dinyatakan bahwa : Kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi diberikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya. Selanjutnya dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa : “Pemberian restitusi dilaksanakan oleh pelaku atau pihak ketiga berdasarkan perintah yang tercantum dalam amar putusan Pengadilan HAM.”
Sementara itu Komisi Hak Asasi Manusia (Commission On Human Rights) Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disingkat PBB) mengeluarkan Basic Principles and Guidelines On The Right To A Remedy And Reparation For Victims Of Violations Of International Human Rights And Humanitarian Law [46],  yang dikembangkan oleh Mr. van Boven dari norma-norma dan standard PBB khususnya The Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (General Assembly resolution 40/34, annex), yang diharapkan dapat menjadi petunjuk (guidelines) atau anjuran[47] kepada negara-negara dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak korban di atas.
Dalam guidelines di atas, dinyatakan mengenai kewajiban negara untuk menghormati dan menegakkan HAM Internasional dan hukum humanitarian, termasuk : mengambil langkah hukum dan administrasi untuk mencegah pelanggaran; menginvestigasi pelanggaran dan mengambil tindakan terhadap pelaku pelanggaran berdasarkan hukum nasional dan internasional; memberikan kepada para korban kesamaan dan efektifitas akses kepada keadilan; memberikan pertolongan dan ganti rugi kepada korban.[48]
Pemulihan untuk korban pelanggaran HAM berat, termasuk didalamnya hak korban untuk :[49]
(a)  Akses terhadap keadilan;
(b) Reparasi untuk kerusakan yang diderita;
(c)  Akses untuk mendapatkan informasi faktual sehubungan dengan pelanggaran tersebut.
Hak korban atas akses terhadap keadilan meliputi seluruh yang tersedia dalam proses pengadilan, administratif atau proses publik lainnya yang tersedia dalam hukum nasional maupun internasional. Untuk memenuhi hak korban atas akses terhadap keadilan tersebut, maka negara-negara diwajibkan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut :[50]
(a)  Memberi tahu baik melalui mekanisme publik atau tersendiri, semua bentuk pemulihan yang tersedia bagi korban pelanggaran HAM yang berat dan hukum humaniter;
(b) Mengambil tindakan-tindakan untuk meminimalkan penderitaan korban, melindungi privasi korban secara pantas dan memastikan keamanan mereka dari intimidasi dan pembalasan, termasuk para keluarga korban dan saksi sebelum, selama dan setelah proses pengadilan, administrasi dan proses-proses lainnya yang melibatkan kepentingan korban;
(c)  Membuka seluruh upaya hukum dan diplomasi yang layak untuk menjamin korban dapat menggunakan haknya untuk mendapatkan pemulihan dan reparasi atas pelanggaran HAM yang berat dan hukum humaniter;
(d) Sebagai tambahan akses individu terhadap keadilan, harus dibuat ketentuan-ketentuan yang memadai agar kelompok korban dapat melakukan tuntutan secara kolektif terhadap pemulihan dan untuk mendapatkan reparasi secara kolektif.
Sedangkan mengenai hak korban atas reparasi, Basic Principles menentukan beberapa prinsip sebagai berikut :
a.   Reparasi harus ditujukan untuk memberikan keadilan dengan memberikan ganti rugi atas pelanggaran HAM yang berat atau hukum humaniter, yang bersifat memadai, efektif, tepat dan proporsional sesuai dengan tingkat pelanggaran dan kerugian yang ditimbulkannya;[51]
b.   Negara harus menyediakan reparasi terhadap para korban akibat tindakan atau pengabaian yang menimbulkan pelanggaran norma-norma hukum HAM internasional dan humaniter, sesuai dengan hukum nasional dan kewajiban hukum internasional;[52]
c.   Dalam kasus dimana pelanggaran bukan oleh negara, pihak yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran tersebut harus menyediakan reparasi kepada korban atau kepada negara apabila negara sudah menyediakan reparasi kepada korban;[53]
d.   Negara harus berusaha keras untuk mendirikan dana nasional untuk reparasi bagi korban dan mencari sumber-sumber dana lain sebagaimana diperlukan untuk melengkapi hal ini.[54]
Bentuk-bentuk pemberian reparasi berdasarkan ketentuan Pasal 21 Basic Principles adalah sebagai berikut :
a.   restitusi;
b.   kompensasi;
c.   rehabilitasi; dan
d.   jaminan untuk tidak terulang lagi.
Restitusi yang diberikan haruslah untuk menegakkan kembali, sejauh mungkin, situasi yang ada bagi korban sebelum terjadinya pelanggaran HAM, yaitu antara lain: pemulihan kebebasan, hak-hak hukum, status sosial, keluarga, kewarganegaraan, kembali ke tempat tinggal dan pengembalian pekerjaan dan hak milik.[55]
Sedangkan kompensasi yang diberikan haruslah disediakan terhadap setiap kerusakan ekonomi yang timbul dari pelanggaran HAM, seperti :[56]
(a) kerusakan fisik dan mental termasuk kesakitan, penderitaan dan tekanan batin;
(b) Kesempatan yang hilang, termasuk pendidikan;
(c) Hilangnya mata pencaharian dan kemampuan mencari nafkah;
(d) Kerugian terhadap reputasi atau martabat;
(e)  Biaya-biaya bantuan hukum, keahlian, obat-obatan, pelayanan medis, psikologis dan sosial lainnya.
Untuk rehabilitasi terhadap korban, maka haruslah meliputi : perawatan medis dan psikologis serta pelayanan hukum dan sosial.[57]
Sedangkan berkaitan dengan jaminan bahwa perbuatan serupa tidak akan terulang lagi dimasa depan, maka hal tersebut harus mencakup :[58]
(a)  Penghentian pelanggaran yang sedang berlangsung;
(b) Verifikasi fakta-fakta dan pengungkapan kebenaran sepenuhnya dan secara terbuka sepanjang pengungkapan tersebut tidak mengakibatkan gangguan terhadap keamanan korban, saksi dan lainnya;
(c)  Pencarian jasad yang terbunuh, hilang dan pemberian bantuan untuk identifikasi dan penguburan kembali korban sesuai dengan agama dan tatacara keluarga dan masyarakat;
(d) Pernyataan resmi atau keputusan hukum untuk memperbaiki martabat, reputasi dan hak-hak hukum dan sosial korban dan orang-orang yang berhubungan dekat dengan korban;
(e)  Permintaan maaf, termasuk pengakuan didepan umum mengenai fakta-fakta dan pengakuan pertanggungjawaban;
(f)  Pemberian sanksi hukum dan administratif terhadap orang yang bertanggungjawab atas pelanggaran HAM;
(g) Peringatan dan pemberian hormat kepada korban;
(h) Pemuatan catatan yang akurat mengenai pelanggaran HAM dan humaniter tersebut dalam materi pendidikan di semua level;
(i)  Pencegahan pengulangan pelanggaran dengan cara :
-    Memastikan kontrol yang efektif dari sipil terhadap militer dan pasukan keamanan;
-    Membatasi yuridiksi Mahkamah Militer hanya terhadap pelanggaran militer yang spesifik yang dilakukan oleh anggota pasukan bersenjata;
-    Memperkuat kemandirian badan peradilan;
-    Melindungi profesi hukum, media, pekerja HAM dan lainnya yang berhubungan;
-    Melakukan dan menguatkan, secara prioritas dan terus menerus, pelatihan HAM terhadap seluruh sektor masyarakat khususnya militer, pasukan keamanan dan penegak hukum;
-    Mempromosikan ketaatan terhadap kode/norma etik, khususnya standar internasional, oleh pejabat pelayan masyarakat termasuk penegak hukum, media, medis, petugas sosial, personil militer dan juga pengusaha.
Pemberian kompensasi terhadap para korban telah diterapkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, yaitu dalam kasus kejahatan terhadap kemanusiaaan di Tanjung Priok, yaitu dalam Putusan Majelis Hakim Pengadilan HAM Ad Hoc Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.: 01/Pid.HAM/Ad Hoc/2003/PN.JKT.PST, Dalam Perkara Pidana HAM Atas Nama Terdakwa : Kapten Art. Sutrisno Mascung, dkk., yang mana dalam putusan tersebut antara lain berisi : “Membebankan kepada Negara membayar Kompensasi berupa materiil sebesar Rp.658.000.000,00 (enam ratus lima puluh delapan juta rupiah) dan immateriil sebesar Rp.357.500.000,00 (tiga ratus lima puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah) kepada 13 orang korban/ahli waris peristiwa Tanjung Priok.”[59]
Terlepas dari adil atau tidaknya putusan majelis hakim tersebut, pemberian kompensasi tersebut merupakan langkah maju, karena dengan demikian pengadilan tidak sekedar memberikan penghukuman kepada pelaku, melainkan juga memberikan hak-hak kepada pihak yang menjadi korban. Akan tetapi yang menjadi masalah bagaimana dengan para korban pelanggaran HAM yang berat lainnya, yang proses penyelesaiannya hukumnya tersendat-sendat.
Dengan merujuk pada mekanisme hukum nasional di atas, yaitu dengan mengacu pada UU Pengadilan HAM dan PP Kompensasi, maka pelaksanaan hak atas kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi tersebut tidak dapat secara otomatis diberikan kepada para korban pelanggaran HAM oleh karena pelaksanaannya bergantung dan atau berkaitan dengan ditegakkan asas kepastian hukum di atas, yaitu berupa pelaksanaan proses pengadilan atas para pelaku pelanggaran HAM.
Untuk itu bagi korban pelanggaran HAM yang berat yang lebih menginginkan didapatkannya kompensasi, restutusi dan rehabilitasi bagi dirinya, tidak ada pilihan lain baginya selain terlebih dulu untuk menuntut terpenuhinya hak atas kepastian hukum atas kasus pelanggaran HAM berat yang dialaminya, yaitu menuntut dilaksanakannya proses penyelidikan, penyidikan dan pengadilan dengan dasar UU Pengadilan HAM atau menuntut penyelesaian melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang mana Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) telah disetujui oleh DPR dalam sidang rapat paripurna DPR pada tanggal 7 September 2004[60] menjadi Undang-Undang Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi (untuk selanjutnya disingkat UU KKR).[61]
Memang bukan berarti hak korban untuk menuntut hak-haknya telah hilang sama sekali, oleh karena ia tetap dapat menuntut hak-haknya tersebut melalui mekanisme perdata, yaitu dengan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata/BW). Akan tetapi dalam praktek, upaya-upaya untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap peristiwa hukum yang merupakan tindak pidana, khususnya terhadap tindak pidana yang tersendat-sendat penyelesaian hukumnya, seringkali menemui jalan buntu, oleh karena hakim dalam pertimbangannya menolak gugatan semacam ini, menyatakan bahwa gugatan semacam ini harus menunggu adanya putusan pidana terlebih dahulu, suatu pertimbangan yang menurut saya keliru karena terhadap gugatan semacam ini tugas hakim hanyalah memeriksa apakah unsur-unsur perbuatan melawan hukum dapat atau tidak dibuktikan kebenarannya, tanpa melihat apakah tindak pidananya harus didahulukan atau tidak, apalagi jika gugatan tersebut diajukan disebabkan penyelesaikan secara pidana berjalan tersendat-sendat. Ditambah lagi dengan fakta bahwa pengajuan gugatan perdata memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Berkaitan dengan itu DR. Arif Gosita, S.H., seorang pakar viktimologi dan kriminologi dari Universitas Indonesia (UI), menyatakan bahwa : “Cara penuntutan ganti kerugian melalui peradilan perdata akhirnya tidak menguntungkan bagi para korban yang tidak mampu secara finansial. Sedangkan mereka inilah yang paling memerlukan bantuan setelah mengalami musibah, menjadi korban (mental, fisik, sosial).”[62]

7.  Ketentuan Pidana Dalam UU Pengadilan HAM
Ketentuan pidana dalam UU No. 26 Tahun 2000 pada pokoknya dapat dikelompokkan menjadi 7 bagian, yaitu sebagai berikut :
a.   Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan Genosida sebagaimana di atur dalam Pasal 8, yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.[63]
b.   Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan berupa:
1.   pembunuhan;
2.   pemusnahan;
3.   pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
4.   perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
5.   kejahatan apartheid.
sebagaimana di atur dalam Pasal 9 huruf a, b, d, e atau j, yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.[64]
c.   Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan berupa:
1.   perbudakan;
sebagaimana di atur dalam Pasal 9 huruf c, yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun.[65]
d.   Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan berupa:
1.   penyiksaan;
sebagaimana di atur dalam Pasal 9 huruf f, yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun.[66]
e.   Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan berupa:
1.   perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;