TIPS & TRIK SOAL ESAI UJIAN ADVOKAT



WISNU PURNAEDI, SH


Tips Dan Trik Soal Esai ini bukan bocoran Jawaban Ujian Advokat, tulisan ini hanya mengupas hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membuat Surat Kuasa dan Surat Gugatan (ada dua soal diminta pilih salah satu antara Gugatan Arbitrase atau Gugatan Perdata (+ Surat Kuasa), tulisan ini khusus untuk Surat Kuasa + Surat Gugatan Perdata). Tulisan ini disarikan oleh penulis dari Pendidikan Keadvokatan di Jakarta.

Nama dan Kasus yang tertulis disini hanyalah rekayasa belaka, dan ini hanya simulasi untuk kepentingan pendidikan, tidak dalam rangka pendukungan atau penjatuhan nama baik pihak tertentu. Jika ada kesamaan Nama dan Kasus hanyalah kebetulan belaka.

Total nilai minimal kelulusan (seperti yang tertulis di buku panduan ujian advokat tahun 2008) adalah 70 dalam skala 100. Dengan pembagian bobot nilai 70 untuk pilihan ganda (dari 120 soal maka nilai persoal yang dijawab benar 70 : 120 = 0.58), dan 30 untuk Esai. Jika untuk soal Esai hukum acara perdata, maka nilainya 15 untuk masing-masing Surat Kuasa dan Surat Gugatan. Sedangkan sistem penilaian sola esai menggunakan sistem point yaitu 50 point, maka 25 point untuk Surat Kuasa dan 25 point untuk Surat Gugatan.

Penjelasan : ada masing-masing 19 bagian yang harus ada pada Surat Kuasa ataupun Surat Gugatan dan masing-masing mendapat 1 point, dan jika 19 point itu ada maka akan ditambah 6 point untuk nilai kesempurnaan, maka total 25 point. Surat Kuasa : 19 bagian yang harus ada, nilai masing-masing 1 (19 x 1 = 19) + 6 nilai untuk kesempurnaan = 25 point. Surat Gugatan : 19 bagian yang harus ada, nilai masing-masing 1 (19 x 1 = 19) + 6 nilai untuk kesempurnaan = 25 point. Maka total 50 point. Maka nilai per point adalah 30 : 50 point = 0,6 Pada Surat Kuasa dan Surat Gugatan masing-masing ada 19 point hal yang harus ada. Perlu diketahui bahwa tulisan ini hanya untuk memperjelas / menekankan pada point-point yang harus ada saja, diharapkan anda sudah menguasai dasar-dasar pembuatan Surat Kuasa dan Surat Gugatan, hal ini untuk memperingkas pembahasan. Jika anda belum jelas, silahkan buku teknik membuat Surat Kuasa dan Surat Gugatan di toko buku terdekat.

*** Berikut 19 point yang harus ada pada Surat Kuasa dan skemanya : ***
1.      Judul Surat yaitu “Surat Gugatan”
2.      Identitas Pemberi Kuasa (minimal Nama, Umur, Pekerjaan, Alamat)
3.      Kata-kata “selanjutnya disebut PEMBERI KUASA”
4.      Kata-kata “Dalam hal ini memilih domisili hukum di kantor kuasanya di bawah ini, dengan ini memberi kuasa…”
5.      Kata-kata “dengan Hak Substitusi dan Hak Retensi”
6.      Identitas Penerima Kuasa (karena dalam hal ini Advokat maka cukup, Nama, Advokat pada kantor hukum/advokat mana?, Alamat kantor hukum/advokat)
7.      Kata-kata “dalam hal ini dapat bertindak secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri” (hal ini jika advokat yang diberi kuasa ada dua atau lebih)
8.      Kata-kata “selanjutnya disebut PENERIMA KUASA”
9.      Kata-kata “KHUSUS”
10.  Kata-kata “Bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa, mewakili, dan membela kepentingan hukum Pemberi Kuasa selaku Penggugat”
11.  Kata-kata “untuk membuat, menandatangani dan mengajukan gugatan perdata”
12.  Kata-kata “perihal ……… (kualifikasi gugatan? misal Wanprestasi)”
13.  Kata-kata “di Pengadilan Negeri … (mana?, penting untuk diperhatikan kompetensi relatifnya)”
14.  Kata-kata “terhadap …. (identitas Tergugat, minimal Nama, Umur, Pekerjaan, Alamat)”
15.  Kata-kata umum, misal :
Untuk selanjutnya, Penerima Kuasa dikuasakan untuk mewakili, mendampingi dan atau memperjuangkan hak-hak Pemberi Kuasa, menghadap dimuka Pengadilan Negeri …….. (mana?), atau di Pengadilan Negeri dalam yuridiksi perkara a quo, menghadap Pejabat- Pejabat, Panitera-Panitera, Hakim-Hakim, membuat, menandatangani dan mengajukan setiap tanggapan, Replik, Akta Pembuktian, Kesimpulan, memberi dan atau menolak bukti-bukti, saksi-saksi, keterangan-keterangan, meminta dan atau mengembalikan sumpah, melakukan perdamaian dengan terlebih dahulu disetujui oleh Pemberi Kuasa dan selagi menguntungkan, melakukan dan atau menerima pembayaran, serta menandatangai kwitansi-kwitansi, serta melakukan upaya hukum Banding (membuat, menandatangani dan mengajukan Memori Banding atau Kontra Memori Banding) atau upaya hukum Kasasi (membuat, menandatangani dan mengajukan Memori Kasasi atau Kontra Memori Kasasi). Pendek kata, Penerima Kuasa diberi keleluasaan untuk dapat melakukan segala tindakantindakan dan upaya-upaya hukum yang dianggap baik dan perlu berkaitan dengan perkara ini, sekalipun tidak disebut secara rinci, sepanjang tersedia dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

16.  Kata-kata penutup misal “Demikian Surat Kuasa ini dibuat, dan berlaku sejak ditandatangani”
17.  Tempat tanggal tahun ditandatangani (diatas nama Pemberi Kuasa).
18.  Pemberi Kuasa (tanda tangan dan nama terang) dan Penerima Kuasa (tanda tangan dan nama terang)
19.  Materai yang bernilai Rp 6000 dan beri tanggal (buat kotak di tengah nama Pemberi Kuasa)

NB : Urutan / kata-kata diatas tidak baku, anda bisa bolak-balik disesuaikan dengan Buku Pegangan yang telah anda pelajari atau dari Materi Kuliah yang pernah anda terima, disini hanya menjelaskan point-point yang harus ada.

Contoh Skema :
SURAT KUASA

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Astuti, S.Pd., Umur 35 Tahun, Pekerjaan Tenaga Pengajar, Jalan Jetis Kulon III No 27, KotaSurabaya.
Untuk selanjutnya disebut sebagai “Pemberi Kuasa

Dalam hal ini memilih domisili hukum di kantor kuasanya yang akan disebut dibawah ini, dan menyatakan, bahwa dengan ini, memberi kuasa dengan Hak Substitusi dan Hak Retensi, kepada:

Dewa Prama, SH, MH. dan Wisnu Purnaedi, SH.

Para Advokat pada Kantor Hukum Dewa Wisnu & Co., yang berkedudukan di Jalan Rama - Shinta, No 41, Surabaya. Telp. (031) 12345. Dalam hal ini dapat bertindak secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri. Untuk selanjutnya disebut sebagai “Penerima Kuasa

KHUSUS

Bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa, mewakili, dan membela kepentingan hukum Pemberi Kuasa selaku Penggugat, untuk membuat, menandatangani dan mengajukan Gugatan Perdata perihal Wanprestasi (ingkar Janji), di Pengadilan Negeri Surabaya, melawan : Roni, S.Pd., M. Pd. Umur 43 Tahun, Pekerjaan Tenaga Pengajar, Jalan Dinoyo, No 43, Surabaya.

Untuk selanjutnya Penerima Kuasa dikuasakan untuk mewakili, mendampingi dan atau
memperjuangkan hak-hak Pemberi Kuasa, menghadap dimuka Pengadilan Negeri Surabaya, atau di Pengadilan Negeri dalam yuridiksi perkara a quo, menghadap Pejabat-Pejabat, Panitera- Panitera, Hakim-Hakim, membuat, menandatangani dan mengajukan setiap tanggapan, Replik, Akta Pembuktian, Kesimpulan, memberi dan atau menolak bukti-bukti, saksi-saksi, keteranganketerangan, meminta dan atau mengembalikan sumpah, melakukan perdamaian dengan terlebih dahulu disetujui oleh Pemberi Kuasa dan selagi menguntungkan, melakukan dan atau menerima pembayaran, serta menandatangai kwitansi-kwitansi, serta melakukan upaya hukum Banding (membuat, menandatangani dan mengajukan Memori Banding atau Kontra Memori Banding) atau upaya hukum Kasasi (membuat, menandatangani dan mengajukan Memori Kasasi atau Kontra Memori Kasasi).

Pendek kata, Penerima Kuasa diberi keleluasaan untuk dapat melakukan segala tindakantindakan dan upaya-upaya hukum yang dianggap baik dan perlu berkaitan dengan perkara ini, sekalipun tidak disebut secara rinci, sepanjang tersedia dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Demikian Surat Kuasa ini dibuat dan berlaku sejak ditanda tangani.

Surabaya, 7 April 2009
Penerima Kuasa                                                                   Pemberi Kuasa


Materai
Rp. 6000
Tgl. 07/04/2009

 





(Dewa Prama, SH. MH)                                                       (Astuti, S.Pd)



(Wisnu Purnaedi, SH)

NB : Contoh ini juga tidak baku. Ada yang penempatan Pemberi Kuasa di kiri dan Penerima Kuasa di kanan, itu boleh, dengan catatan posisi materai ada di Pemberi Kuasa.



*** Berikut 19 point yang harus ada pada Surat Gugatan dan skemanya : ***
1.      Kata-kata tujuan alamat :
Kepada :
Yth. Ketua Pengadilan Negeri... (mana?, penting untuk diperhatikan kompetensi relatifnya) (alamat Pengadilan tersebut, mana?)
2.      Kata-kata “Perihal : Gugatan … (kualifikasi gugatan? misal Wanprestasi)”
3.      Kata - kata :
“Dengan Hormat,
Dengan ini kami yang bertanda tangan dibawah ini …. (identitas Penggugat, Nama, Advokat pada kantor hukum/advokat mana?, Alamat kantor hukum/advokat)”
4.      Kata-Kata : “Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama kepentingan hukum klien kami :”
5.      Identitas Pemberi Kuasa (minimal Nama, Umur, Pekerjaan, Alamat), dan Kata-Kata : “Untuk            selanjutnya disebut sebagai “Penggugat””
6.      Kata-Kata : “berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal ………. (terlampir)”
7.      Kata-Kata : “Dalam hal ini mengajukan Gugatan Wanprestasi terhadap :”
8.      indentitas Tergugat (minimal Nama, Umur, Pekerjaan, Alamat), dan Kata-Kata : “Untuk selanjutnya disebut sebagai “Tergugat””
9.      Kata-Kata : “ Adapun Dasar-Dasar Gugatan ini diajukan adalah sebagai berikut :”
10.  Uraian Kejadian, meliputi Obyek Perkara, Fakta Hukum (wanprestasi atau Perbuatan Melawan Hukum), Kualifikasi perbuatan Tergugat. (termasuk dalam Posita)
11.  Uraian Ganti rugi, termasuk Materiil dan immateriil (termasuk dalam Posita)
12.  Uraian Provisi (termasuk dalam Posita)
13.  Uraian Sita Jaminan (termasuk dalam Posita)
14.  Kata-Kata : “ Bahwa atas dasar serta alasan-alasan uraian diatas maka kami Penggugat mohon agar Pengadilan Negeri ..... (mana?) *) berkenan menjatuhkan putusan sebagai berikut : “
15.  Tuntutan Provisi (termasuk dalam Petitum)
16.  Tuntutan Perkara (termasuk dalam Petitum)
17.  Kata-Kata : “Jika Pengadilan Negeri ..... (mana?) *) berpendapat lain, maka kami mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)”
18.  Tempat, tanggal, tahun ditandatangani
19.  Kata-Kata : “Hormat Kami (dan tanda tangan dan nama terang Kuasa Penggugat)”

NB : Urutan / kata-kata diatas tidak baku, anda bisa bolak-balik disesuaikan dengan Buku Pegangan yang telah anda pelajari atau dari Materi Kuliah yang pernah anda terima, disini hanya menjelaskan point-point yang harus ada.

*) untuk beberapa contoh ada yang menggunakan “Majelis Hakim”, tapi ada beberapa pendapat, bahwa saat surat gugatan tersebut diajukan pada Ketua Pengadilan dan Majelis Hakim yang menangani gugatan tersebut belum dibentuk, istilah “Majelis Hakim” bisa digunakan saat perkara sudah dipersidangkan. Saya lebih setuju demikian, jika anda menggunakan “Majelis Hakim” juga dipersilahkan.



Contoh Skema :
Kepada :
Yth. Ketua Pengadilan Negeri Surabaya
Jl. Arjuno Mencari Cinta, no 33
Surabaya

Perihal : Gugatan Wanprestasi


Dengan hormat,

Yang bertanda tangan dibawah ini :
Dewa Prama, SH, MH. dan Wisnu Purnaedi, SH.
Para Advokat pada Kantor Hukum Dewa Wisnu & Co., yang berkedudukan di Jalan Rama - Shinta, No 41, Surabaya. Telp. (031) 12345. Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama kepentingan hukum klien kami : Astuti, S.Pd., Umur 35 Tahun, Pekerjaan Tenaga Pengajar, Jalan Jetis Kulon III No 27, Kota Surabaya. Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 7 April 2009 (terlampir).

Untuk selanjutnya disebut sebagai …………………………………... ( Penggugat)

Dalam hal ini mengajukan Gugatan Wanprestasi terhadap :
Roni, S.Pd., M. Pd. Umur 43 Tahun, Pekerjaan Tenaga Pengajar, Jalan Dinoyo, No 43,
Surabaya.
Untuk selanjutnya disebut sebagai …………………………………...... ( Tergugat)

Adapun Dasar-Dasar Gugatan ini diajukan adalah sebagai berikut :
1.      Bahwa pada tanggal 2 Februari 2008, Tergugat datang pada Penggugat menawarkan sebidang tanah berikut bangunannya jalan Komando, no. 33. desa Klampis Ngasem, Surabaya, kemudian terjadi kesepakatan harga Rp. 1.300.000.000,- (Satu Milyar Tiga Ratus Ribu Rupiah), kemudian Penggugat memberikan Uang tanda jadi sebesar Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah) (Bukti P-1);
2.      Bahwa pada tanggal 14 Februari 2008, Tergugat Penggugat menghadap Notaris Safria Nasution, SH., M.Kn. sepakat mengadakan Perjanjian Jual Beli (Akta Notaris Nomor 17, tertanggal 14 Februari 2008 / Bukti P-2), yang salah isinya bahwa uang muka yang harus dibayar Penggugat sebesar 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah), oleh karena Penggugat telah membayar Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah) sebagai tanda jadi, maka Penggugat menambahkan Rp 450.000.000,- (Empat Ratus Lima Puluh Juta Rupiah), sehingga genap Rp 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah);
3.      Bahwa dalam Perjanjian Jual beli juga disepakati bahwa sisa yang Rp. 800.000.000,- (Delapan Ratus Juta Rupiah) akan dibayar paling lama 7 (tujuh) bulan kemudian;
4.      Bahwa pada tanggal 2 September 2008 Penggugat mendatangi Tergugat untuk melakukan pelunasan, tetapi Tergugat dengan sepihak menaikkan harga rumahnya menjadi Rp. 1.800.000.000,- (Satu Milyar Delapan Ratus Juta Rupiah), dengan alasan beberapa hari lalu ada Seorang Calon Pembeli yang berani nawar 2.000.000.000,- (Dua Milyar Rupiah), maka agar tidak ada perbedaan yang mencolok dengan Calon Pembeli yang lain tersebut, maka Tergugat menaikan menjadi Rp. 1.800.000.000,- (Satu Milyar Delapan Ratus Juta Rupiah);
5.      Bahwa Karena Pihak Tergugat bersikeras untuk tidak mau melepas tanah berikut bangunan diatasnya sesuai kesepakatan awal, yaitu Rp. 1.300.000.000,- (Satu Milyar Tiga Ratus Ribu Rupiah), akhirnya Penggugat mengajukan syarat jika memang ingin membatalkan perjanjian jual beli yang dilakukan dihadapan Notaris tersebut, yiatu mengembalikan uang muka sebesar Rp 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah), dan mengganti kerugian sebesar 150.000.000,- (Seratus Lima Puluh Juta Rupiah), dalam tempo 2 (dua) bulan;
6.      Bahwa Kemudian setelah 2 bulan, pada tanggal 10 November 2008, pihak Tergugat tidak mau memberikan Uang muka dan Uang Ganti Rugi seperti yang disyaratkan Penggugat, dan juga tidak mau menyerahkan tanah berikut bangunan diatasnya sebagaimana yang tertuang di Perjanjian Jual Beli dengan Akta Notaris Nomor 17, pada Notaris Safria Nasution, SH., M.Kn., tertanggal 14 Februari 2008, hal ini jelas menunjukkan bahwa Tergugat telah Melakukan wanprestasi (ingkar janji) terhadap kewajibanya berdasarkan Perjanjian Jual Beli tersebut;
7.      Bahwa akibat wanprestasi yang dilakukan oleh Tergugat, telah menimbulkan kerugian pada Penggugat berupa Uang Muka sebesar Rp 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah), serta menimbulkan kerugian immateriil mengganti kerugian immateriil atas sikap Tergugat yang plin-plan dan tidak menghormati kesepakatan bersama, sebesar 300.000.000,- (Tiga Ratus Juta Rupiah);
8.      Bahwa untuk menjamin pembayaran kewajiban Tergugat berdasarkan putusan perkara ini dan supaya gugatan yang diajukan Penggugat tidak sia-sia, maka Penggugat dengn ini memohon agar Pengadilan Negeri Surabaya meletakkan Sita Jaminan Conservatoir Beslaag) atas harta kekayaan Tergugat berupa tanah berikut bangunan yang terletak di jalan Komando, no. 33. desa Klampis Ngasem, Surabaya;
9.      Bahwa karena gugatan ini timbul akibat dari wanprestasi yang dilakukan oleh Tergugat, maka layak jika Tergugat dihukum untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini.

Bahwa atas dasar serta alasan-alasan uraian diatas maka kami Penggugat mohon agar Pengadilan Negeri Surabaya berkenan menjatuhkan putusan sebagai berikut :
1.      Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2.      Menyatakan Perjanjian Jual Beli dengan Akta Notaris Nomor 17, pada Notaris Safria Nasution, SH., M.Kn., tertanggal 14 Februari 2008, adalah Perjanjian yang sah;
3.      Menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan wanprestasi kepada Penggugat, berdasarkan Perjanjian Jual Beli dengan Akta Notaris Nomor 17, pada Notaris Safria Nasution, SH., M.Kn., tertanggal 14 Februari 2008;
4.      Menghukum Tergugat untuk membayar / mengembalikan uang muka yang telah dibayarkan oleh Penggugat sebesar Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah);
5.      Menghukum Tergugat untuk membayar kerugian imateriil kepada Penggugat, atas sikap Tergugat yang plin-plan dan tidak menghormati kesepakatan bersama, sebesar 300.000.000,- (Tiga Ratus Juta Rupiah);
6.      Menyatakan sah dan berharga Sita Jaminan (Conservatoir Beslaag) atas harta kekayaan Tergugat berupa tanah berikut bangunan yang terletak di jalan Komando, no. 33. Desa Klampis Ngasem, Surabaya;
7.      Membebankan semua biaya yang timbul dalam perkara ini.

ATAU :
Jika Pengadilan Negeri Surabaya berpendapat lain, maka kami mohon putusan yang seadiladilnya (ex aequo et bono)

Surabaya, 12 April 2009
Hormat Kami
Kuasa Hukum Astuti, S.Pd


(Dewa Prama, SH. MH)


(Wisnu Purnaedi, SH)
Catatan tambahan :
·         Tambahkan keterangan Alat bukti (misal : “(bukti P-1)”, dst) untuk kesempurnaan nilai.
·         Detailkan permasalahan dalam Posita, meskipun mungkin di soal tidak dijelaskan (karangkarang aja sendiri, tapi jangan melebar, yang penting-penting aja).
·         Kepada Ketua Pengadilan mana juga penting, perhatikan kompetensi relatifnya, agar Gugatan tidak dianggap kabur.
·         Identitas Tergugat dan Penggugat juga penting, agar Gugatan tidak dianggap kabur.
·         Antara Posita dan Petitum harus singkron. Kalau trik saya, konsepkan dulu Petitum Gugatan baru saya tulis Positanya, hal ini supaya tiap Petitum Gugatan ada dasar Positanya.



Hal-hal yang sifatnya umum untuk diperhatikan, untuk peningkatan kesempurnaan nilai :
1.      Tanggal dibuatnya Surat Kuasa dengan Surat Gugatan harus berselang hari, lebih bagus 3 hari, akan sangat fatal jika Surat Gugatan tertanggal lebih dulu daripada Surat Kuasa.
2.      Jika di Surat Kuasa, Kuasa Hukum ada 2 orang, di Surat Gugatan diwajib ada 2 orang Kuasa Hukum yang tanda tangan. 1 boleh. Tapi ingat jangan terbalik di Surat Kuasa, Kuasa hukumnya ada 1 orang, lha di Surat Gugatan ada 2 Orang, ini akan fatal sekali.
3.      Perhatikan betul-betul mengenai kompetensi relatifnya, ini sangat penting, karena salah tempat maka surat kuasa dan gugatan yang telah dibuat tidak ada artinya, misal menggunakan kota jakarta perhatikan betul-betul, karena jakarta terbagi 5 wilayah JakartaPusat, Jakbar, Jaksel, Jaktim dan Jakut. Jangan asal cari selamat menggunakan Jakarta saja, nilai anda nol besar untuk itu, perlu di ingat Ujian Advokat bukan ujian Sekolah, “asal diisi misal salah dapat nilai sebagai upah nulis”, salah pada Ujian Advokat berarti NOL!! Terutama terkait Tanggal, identitas para pihak, dan kompetensi relatif, serta untuk Surat Gugatan antara Posita dan Petitum harus singkron, jadi mohon diperhatikan benar-benar. Karena Menurut pendapat Dosen saya waktu itu, bahwa Surat Kuasa dan Surat Gugatan yang anda buat adalah simulasi mengajukan Gugatan ke Pengadilan. Jika hal tersebut tidak terperhatikan, maka Majelis Hakim bisa menolak gugatan, jika demikian maka anda harus mengajukan proses gugatan lagi dari awal atau mengulang gugatan. Itulah kiasannya, jika anda salah di hal-hal tersebut, maka bersiaplah anda untuk mengulang ujian-nya (Ujian Advokat-pen) tahun depan.
4.      Saya kira sudah sangat cukup, selebihnya Silahkan anda belajar menulis dengan tangan yang bagus, yang jelas, yang mudah dibaca orang lain, supaya pihak korektor bisa memberi anda nilai yang sesuai, jika tulisan tangan anda jelek, maka bisa jadi (sekali lagi bisa jadi, artinya belum tentu) korektor malas membaca tulisan anda dan memberi nilai anda “NOL”, upayakan jangan banyak coretan, bawa tipe ex. Dan yang sangat penting, banyaklah ber-DOA !!.


SEMOGA BERMANFAAT

ARBITRASE

 
DIAJUKANNYA PERKARA
DENGAN KLAUSUL ARBITRASE KE MUKA PENGADILAN



I.      Pendahuluan

Dalam suatu hubungan bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan timbulnya sengketa. Sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian ataupun disebabkan hal lainnya. Untuk menyelesaikan sengketa ada beberapa cara yang bisa dipilih, yaitu melalui negosiasi, mediasi, pengadilan dan arbitrase.

Pengertian arbitrase termuat dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Nomor 30 tahun 1999:

“Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.”

Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa:

”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”

Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.

Dalam banyak perjanjian perdata, klausula arbitase banyak digunakan sebagai pilihan penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.

Putusan Arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap) sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut.

Dalam jurisprudensi, kita mengetahui ada suatu kasus yaitu Arrest Artist de Labourer dimana perkara tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri padahal sudah memuat klausul arbitrase untuk penyelesaian sengketanya. Pada praktek saat ini juga masih dijumpai pengadilan negeri yang melayani gugatan pihak yang kalah dalam arbitrase.

Melihat permasalahan diatas, maka timbul beberapa pertanyaan :
  1. Apakah Pengadilan berwenang memeriksa perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya?
  2. Sejauh mana keterkaitan antara pengadilan dengan lembaga arbitrase?


II.    Pengaturan Mengenai Arbitrase
A. Definisi Arbitrase

Menurut Black's Law Dictionary: "Arbitration. an arrangement for taking an abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation".Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:

  1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo); atau
  2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).

Sebelum UU Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalampasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasanpasal 3 ayat(1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-PokokKekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luarPengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetapdiperbolehkan.


B. Sejarah Arbitrase

Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of de rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 30 tahun 1999. Dalam Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan.

C. Objek Arbitrase

Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.

C. Jenis-jenis Arbitrase

Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc direntukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.

Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.

BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausularbitrase sebagai berikut:

"Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI,yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa,sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir".

Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission ofInternational Trade Law) adalah sebagai berikut:

"Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini, atau wan prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL.”

Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kali adalah klausul arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknya klausul arbitrase, akan menentukan apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa timbul.

D. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase

Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah :
  • kerahasiaan sengketa para pihak terjamin ;
  • keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari ;
  • para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil ;
  • para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya ;
    para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase ;
  • putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.

Para ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai keunggulan arbitrase. Menurut Prof. Subekti bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli, dan secara rahasia. Sementara HMN Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah:
  1. Penyelesaian sengketa dapat dilakasanakan dengan cepat.
  2. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-sengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
  3. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
  4. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perushaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.

Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan arbitrase. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas.

III.   Keterkaitan antara Arbitrase dengan Pengadilan


A. Hubungan Arbitrase dan Pengadilan

Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya.

Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar UU Arbitrase antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 (3)) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun nasional yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yaitu pendafataran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase internasional mengembil tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase

1. Putusan Arbitrase Nasional

Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final ddan mengikat.

Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.

2. Putusan Arbitrase Internasional

Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.

C. Kewenangan Pengadilan Memeriksa Perkara yang Sudah Dijatuhkan  Putusan Arbitrasenya

Lembaga Peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase sebagaimana yang termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UU No.30 tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Hal tersebut merupakan prinsip limited court involvement.

Dalam prakteknya masih saja ditemukan pengadilan yang menentang, bahkan ketika arbitrase itu sendiri sudah menjatuhkan putusannya. Seperti dalam kasus berikut :

Dalam kasus Bankers Trust Company dan Bankers Trust International PLC (BT) melawan PT Mayora Indah Tbk (Mayora), PN Jakarta Selatan tetap menerima gugatan Mayora (walaupun ada klausul arbitrase didalamnya) dan menjatuhkan putusan No.46/Pdt.G/1999 tanggal 9 Desember 1999, yang memenangkan Mayora. Ketua PN Jakarta Pusat dalam putusan No.001 dan 002/Pdt/Arb.Int/1999/PN.JKT.PST juncto 02/Pdt.P/2000/PNJKT.PST, tanggal 3 Februari 2000, menolak permohonan BT bagi pelaksanaan putusan Arbitrase London, dengan alasan pelanggaran ketertiban umum, pelanggaran ketertiban umum yang dimaksud adalah bahwa perkara tersebut masih dalam proses peradilan dan belum memiliki kekuatan hukum tetap. Penolakan PN Jakarta Pusat tersebut dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung No.02 K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000, tanggal 5 September 2000.

Kasus diatas adalah salah satu contoh dimana pengadilan menentang lembaga arbitrase. Sebelumnya telah jelas bahwa pengadilan tidak boleh mencampuri sengketa para pihak yang telah terikat perjanjian arbitrase. Lalu apakah ada alasan-alasan yang dapat membenarkan pengadilan memeriksa perkara para pihak yang sudah terikat dengan klausul arbitrase? Dalam jurisprudensi salah satu contoh adalah Arrest Artist de Labourer.

Arrest HR 9 Februari 1923, NJ. 1923, 676,
Arrest “Artis de Laboureur”
(dimuat dalam Hoetink, hal. 262 dsl.)
Persatuan Kuda Jantan ( penggugat ) telah mengasuransikan kuda Pejantan bernama Artis de Laboureur terhadap suatu penyakit /cacad tertentu, yang disebut cornage. Ternyata pada suatu pemeriksaan oleh Komisi Undang2 Kuda, kuda tersebut dinyatakan di-apkir, karena menderita penyakit cornage. Penggugat menuntut santunan ganti rugi dari Perusahaan Asuransi. Didalam Polis dicantumkan klausula yang mengatakan, bahwa sengketa mengenai Asuransi, dengan menyingkirkan Pengadilan, akan diputus oleh Dewan Asuransi Perusahaan Asuransi, kecuali Dewan melimpahkan kewenangan tersebut kepada suatu arbitrage. Dewan Asuransi telah memutuskan untuk tidak membayar ganti rugi kepada penggugat. Penggugat mengajukan gugatan dimuka Pengadilan. Sudah tentu dengan alasan adanya klausula tersebut diatas, maka tergugat membantah dengan mengemukakan, bahwa Pengadilan tidak wenang untuk mengadili perkara ini.

Pengadilan ‘s Gravenhage a.l. telah mempertimbangkan :
Setelah Pengadilan menyatakan dirinya wenang memeriksa perkara tersebut, maka Pengadilan menyatakan, bahwa keputusan Dewan Asuransi harus disingkirkan, karena keputusan tersebut tidak didasarkan kepada suatu penyelidikan yang teliti dan bahkan Dewan menganggap tidak perlu mendengar pihak penggugat, sehingga perjanjian itu tidak telah dilaksanakan dengan itikad baik. Pengadilan mengabulkan tuntutan uang santunan ganti – rugi sampai sejumlah uang tertentu. Pihak Asuransi naik banding.

Hof Amsterdam dalam keputusannya a.l. telah mempertimbangkan :
Bahwa memang benar, bahwa berdasarkan Polis ybs., para pihak sepakat untuk menyerahkan sengketa mengenai Asuransi tersebut kepada Dewan Asuransi Perusahaan Asuransi. Sekalipun terhadap keputusan Dewan, yang diambil dengan tanpa aturan main yang pasti, dan bersifat mutlak, yang dikeluarkan oleh pihak yang tidak netral, mungkin saja ada keberatan-keberatan, namun para pihak telah membuatnya menjadi undang-undang bagi mereka, karena telah terbentuk melalui kesepakatan para pihak, yang tidak ternyata bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan, sehingga permasalahannya adalah, apakah ketentuan perjanjian itu, oleh Dewan, tidak telah dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana pendapat dari Pengadilan Amsterdam, pertanyaan mana menurut pendapat Hof, karena mengenai pelaksanaan suatu perjanjian, adalah masuk dalam kewenangan Hakim.

Hof, untuk menjawab permasalahan tersebut, setelah mengemukakan patokan, bahwa itikad baik dipersangkakan dan tidak adanya itikad baik harus dibuktikan, telah menerima fakta-fakta yang disebutkan dalam keputusan Dewan sebagai benar, a.l. :………“ bahwa menurut pendapat Hof keputusan tersebut( maksudnya : keputusan Dewan, penj.pen.) …….adalah tidak sedemikian rupa, sehingga dapat dianggap tidak telah diberikan dengan itikad baik, dan bahwa itikad buruk pada pelaksaan perjanjian, sepanjang mengenai pengambilan keputusan oleh Dewan Asuransi, tidak telah dibuktikan “ atas dasar mana Hof menyatakan keputusan Dewan Asuransi tidak bisa dibatalkan oleh Hakim dan karenanya membatalkan keputusan Pengadilan Amsterdam. Persatuan Kuda Jantan naik kasasi.

Catatan : Pengadilan menganggap dirinya wenang untuk menangani perkara tersebut dan menyatakan keputusan Dewan tidak melanggar itikad baik

Pokok pertanyaan dalam pemeriksaan kasasi ini ternyata adalah, apakah maksud ayat ke-3 Ps. 1374 B.W. ( Ps. 1338 ayat 3 Ind ) dengan itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian harus dinilai dengan patokan, subyektif - suatu sikap batin tertentu dari si pelaksana - atau obyektif - suatu cara pelaksanaan. HR meninjau, apakah isi keputusan Dewan Asuransi, sebagai pelaksanaan dari perjanjian Asuransi antara Penggugat dengan Perusahaan Asuransi, memenuhi tuntutan itikad baik, memenuhi kepantasan dan kepatutan menurut ukuran orang normal pada umumnya dalam masyarakat ybs. Disini dipakai ukuran itikad baik yang obyektif.

Dalam Arrest Artist de Labourer ini pengadilan menyatakan berwenang memeriksa karena yang diperiksa bukanlah pokok perkaranya melainkan cara pengambilan keputusannya, apakah Dewan Asuransi sudah mengambil keputusan berdasarkan itikad baik yang sesuai dengan asas kepatutan dan kepantasan. Itikad baik disini memiliki dua kemungkinan yaitu itikad baik objektif atau subjektif, dimana Hof dan Hoge Raad kemudian menilai bahwa itikad baik yang objektif lah yang dipakai.

Berdasarkan pasal 1338 (3) suatu perjanjian harus didasarkan atas asas itikad baik. Itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa-peristiwa di pengadilan. Itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan. Perjanjian harus dilaksanakan dengan menafsirkannya agar sesuai dengan kepatutan dan kepantasan, sesuai dengan pasal 1339 B.W., yang menyatakan bahwa, ” suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalmnya tapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang”. Itikad baik dapat dibedakan menjadi itikad baik subjektif dan itikad baik objektif. Itikad baik subjektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik, sedang itikad baik objektif adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan itikad baik.

Dalam kasus Bankers Trust melawan Mayora sungguh aneh karena mengetengahkan ketertiban umum sebagai salah satu alasan. Seharusnya PN Jakarta Selatan menolak untuk memeriksa perkara tersebut karena bukan merupakan kewenangannya, tidak diajukan atas dasar adanya perbuatan melawan hukum, dan dengan Mayora mengajukan perkara tersebut ke pengadilan negeri padahal saat itu arbitrase sedang berjalan, menunjukkan bahwa Mayora tidak beritikad baik dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Dalam hal ketertiban umum, yang dimaksud ketertiban umum oleh hakim adalah perkara tersebut sedang dalam proses di pengadilan hukum di pengadilan, alasan seperti ini seharusnya tidak bisa dijadikan alasan ketertiban umum. Apa yang telah dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah melanggar ketentuan Pasal 11 UU No.30 Tahun 1999, dan sayangnya Mahkamah Agung justru menguatkan putusan ini.

Ketertiban umum dijadikan dalih untuk menolak permohonan arbitrase. Ketertiban umum sendiri adalah suatu sendi-sendi asasi dari hukum suatu negara. UU Arbitrase pada bagian penjelasannya tidak mendefinisikan atau membatasi ketertiban umum. Akibatnya, definisi ketertiban umum dijadikan legitimasi bagi salah satu pihak untuk meminta pembatalan eksekusi dari Pengadilan Negeri. Sulit untuk mengklasifikasikan putusan arbitrase yang bertentangan dengan ketertiban umum, namun dapat digunakan kriteria sederhana sebagai berikut :
  1. putusan arbitrase melanggar prosedur arbitrase yang diatur dalam peraturan perundangan negara, misalnya kewajiban untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan setempat tidak dilaksanakan ;
  2. putusan arbitrase tidak memuat alasan-alasan, padahal peraturan perundang-undangan negara tersebut mewajibkannya; atau
  3. jika salah satu pihak tidak mendapat kesempatan untuk didengar argumentasinya sebelum putusan arbitrase dijatuhkan.

Ketertiban umum yang dijadikan dalih PN Jakarta Selatan untuk menolak permohonan Bankers Trust tidak termasuk ketertiban umum yang sudah diuraikan diatas. Pengadilan Jakarta Selatan juga telah melakukan kesalahan karena memeriksa isi perkara dan bukan sekedar memeriksa penerapan hukumnya saja seperti dalam arrest Artist de Labourer.

Pada intinya terhadap perkara yang sudah memiliki klausul arbitrase tidak bisa diajukan ke pengadilan negeri, dan untuk perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya tidak bisa diajukan lagi ke pengadilan, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum, sehingga pihak yang dirugikan bisa menggugat ke pengadilan negeri atas dasar perbuatan melawan hukum dalam hal pengambilan putusan arbitrase yang tidak berdasar itikad baik.

IV.  Kesimpulan

Pengadilan tidak berwenang memeriksa kembali perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum terkait dengan pengambilan putusan arbitrase dengan itikad tidak baik, dan apabila putusan arbitrase itu melanggar ketertiban umum.

Peradilan harus menghormati lembaga arbitrase, tidak turut campur, dan dalam pelaksanaan suatu putusan arbitrase masih diperlukan peran pengadilan, untuk arbitrase asing dalam hal permohonan eksekuator ke pengadilan negeri.

Pada prakteknya walaupun pengaturan arbitrase sudah jelas dan pelaksanaannya bisa berjalan tanpa kendala namun dalam eksekusinya sering mengalami hambatan dari pengadilan negeri.